Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kekesalan Presiden Joko Widodo terhadap kinerja ekspor Indonesia yang jauh tertinggal di bawah Malaysia dan Thailand dapat dijawab dengan meningkatkan kinerja ekspor. Salah satunya memanfaatkan peluang yang muncul dari China. Saat ini, Negara Tembok Besar tersebut sedang giat-giatnya berinvestasi di sektor hilirisasi di Indonesia.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong mengatakan, salah satu cara meningkatkan ekspor adalah meningkatkan investasi di dalam negeri. Saat ini, ujar Thomas, investasi China di Indonesia sangat besar porsinya di pembangunan smelter.
Menurut dia, dengan investasi di sektor ini, maka di Indonesia telah terjadi konversi bahan baku komoditas mentah yang nilainya rendah menjadi komponen yang bernilai tinggi dan diekspor.
Misalnya di Morowali. Menteri Perindustrian juga sering menguraikan, dari yang tadinya kita ekspor nikel mentah, sekarang kita mengekspor stainless steel. "Bahkan berkat investasi China ini, Indonesia sudah menjadi tiga besar dunia eksportir stainless steel," kata Thomas, Jumat (2/2).
Thomas menjelaskan, investor China sekarang sedang berinvestasi untuk ke hilirisasi berikutnya, seperti carbon steel atau baja ekstra keras untuk mesin dan motor. Dan itu banyak menggantikan impor. "Jadi, kalau kita bisa produksi baja tahan karat di pabrik kita sendiri, kita tidak perlu impor dan bahkan banyak yang diekspor," ujarnya menambahkan.
Namun demikian, mantan Menteri Perdagangan ini tidak memungkiri, untuk bisa merealisasikan itu semua, dibutuhkan waktu antara komitmen investasi, realisasi, sampai kinerja dari ekspornya terlihat. Ia memperkirakan, waktu yang dibutuhkan sekitar dua sampai tiga tahun. Tetapi tanpa investasi tidak mungkin ada kinerja ekspor, ucap Thomas.
Butuh Modal Besar
Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonathan Handojo mengatakan, benar bahwa investasi dari China belakangan ini cukup besar. Namun ia menyayangkan BKPM yang tidak pernah merilis seberapa besar total investasi dari China tersebut.
Padahal, Indonesia perlu mengetahui berapa potensi peningkatan produk hilirisasi dalam negeri. "Ini juga menjadi tantangan karena membuat smelter itu harus punya modal yang cukup," ujar Jonathan.
Ia menambahkan, saat ini investor sedang menunggu perbaikan regulasi soal pembangunan smelter. Alhasil, perusahaan-perusahaan kecil berhenti dulu.
"Tapi perusahaan yang besar terpaksa jalan terus selagi harga nikel mencapai US$ 13,600 per ton. Dan semua yang masih jalan itu menggunakan tungku listrik. Yang menggunakan tungku blast furnace masih terganggu dengan harga kokas yang masih tinggi," ujar Jonathan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News