Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Merebaknya virus Corona (Covid-19) secara global berdampak pada aktivitas masyarakat dan kondisi perekonomian Indonesia saat ini. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan ekonomi, termasuk kebijakan fiskal untuk menopang kinerja perekonomian domestik yang lesu.
Beberapa bentuk kebijakan fiskal yang telah dikeluarkan pemerintah antara lain relaksasi perpajakan, yaitu pajak karyawan ditanggung pemerintah selama enam bulan, pajak penghasilan (PPh) pasal 22 impor dan PPh pasal 25 ditunda selama enam bulan, restitusi PPN dipercepat, diskon tarif tiket penerbangan domestik dan stimulus wisata dan perjalanan, serta pelebaran defisit APBN untuk belanja pemerintah yang lebih besar. Total stimulus fiskal yang dikucurkan pemerintah saat ini diestimasi sebesar Rp 158,2 triliun.
Baca Juga: Jokowi tegaskan pemerintah tidak terpikir untuk lockdown, ini tanggapan Jusuf Kalla
Namun, mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menilai, dibutuhkan penyesuaian kebijakan fiskal di tengah perubahan aktivitas masyarakat yang signifikan saat ini. Imbauan untuk beraktivitas dari rumah dan social distancing (menjaga jarak sosial) membuat pola kebijakan yang tujuannya mendorong permintaan melalui belanja menjadi tidak efektif.
“Walau memiliki uang, orang akan mengurangi aktivitas belanjanya, kecuali melalui online. Pola berlanja bergeser kepada online. Namun tentu ini jumlahnya juga relatif terbatas, karena barang online juga akan bergantung pada pasokan,” tulis Chatib dalam cuitan akun Twitter pribadinya, Minggu (15/3) lalu.
Chatib memandang, pemerintah perlu mengubah bentuk fiskal stimulus sesuai dengan kondisi masyarakat agar lebih efektif.
Pertama, memfokuskan kebijakan pada perkotaan yang kemungkinan mengalami dampak lebih besar dibandingkan pedesaan akibat faktor kepadatan penduduk dan intensitas interaksi warganya, serta kebutuhan pasokan barang dan makanan yang lebih tinggi. Selain itu, industri juga berada di perkotaan.
“Desa memiliki fasilitas kesehatan yang kurang dibanding kota, maka juga tetap harus diperhatikan. Karena itu komposisi inin harus dihitung masak-masak,” sambung ekonom senior ini.
Baca Juga: Mahfud MD minta tokoh agama ajak masyarakat beribadah di rumah untuk cegah corona
Kedua, Chatib menyarankan agar pemerintah fokus mengalokasikan kebijakan fiskalnya untuk program kesehatan. Di antaranya, memastikan kapasitas seluruh rumah sakit cukup dan siap untuk mengantisipasi peningkatan pasien Covid-19 yang masif.
Selain itu juga jumlah dokter dan tenaga medis, obat-obatan, hingga asuransi yang memadai bagi pasien Covid-19.
“Sehingga negara bisa menanggung. Setelah kondisi bisa diatasi, dan aktivitas menjadi normal yaitu interaksi terjadi, baru dilakukan manajemen permintaan lagi melalui fiskal,” tutur Chatib.
Ketiga, pemerintah harus memastikan bahwa kelompok menengah ke bawah memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di tengah aktivitas ekonomi yang mengalami gangguan saat ini. Program-program seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan kartu Prakerja menjadi penting.
Baca Juga: Ini film yang menunda jadwal tayang dan syuting karena virus corona
Keempat, mengingat besarnya kebutuhan dana saat ini, maka Chatib mengatakan pemerintah perlu melakukan realokasi anggaran dari belanja yang kurang penting atau bukan prioritas selain tentunya menaikkan defisit APBN lebih tinggi.
Terakhir, Chatib mengingatkan pentingnya pemerintah untuk memastikan bahwa stok makanan dan bahan pokok aman terkendali. Sebab, kenaikan harga akibat tidak tersedianya stok pangan akan menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat.
“Setelah situasi kembali normal, barulah standar countercyclical fiscal monetary untuk mendorong agregat permintaan bisa dijalankan dan efektif,” tutup Chatib dalam cuitannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News