kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Cegah Peredaran Rokok Ilegal, Kebijakan CHT Harus Tepat


Selasa, 05 November 2024 / 03:50 WIB
 Cegah Peredaran Rokok Ilegal, Kebijakan CHT Harus Tepat
ILUSTRASI. Penjualan rokok di minimarket Jakarta, Senin (15/4/2024). Gabungan Prodeusen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) mencatat pembelian pita cukai awal tahun 2024 menurun drastis jika dibandingkan dengan periode tahun lalu yang disebabkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) 10% tahun ini./pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/15/04/2024.


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang terus terjadi setiap tahun terbukti tidak efektif dalam menekan jumlah perokok di Indonesia. Kenaikan CHT justru membuat perokok jadi beralih ke rokok ilegal. 

Pada 2022, Bea Cukai mengamankan 12,43 juta batang rokok ilegal dengan potensi kerugian negara sebesar Rp9,42 miliar. Angka ini meningkat pada 2023 menjadi 13,09 juta batang rokok ilegal dengan potensi kerugian mencapai Rp12,71 miliar. Sementara, hingga September 2024, terdapat 13,69 juta batang rokok ilegal yang telah diamankan Bea Cukai.

Hasil Kajian Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) menyebutkan bahwa kenaikan tarif cukai rokok yang terlalu tinggi merupakan salah satu pemicu pertumbuhan peredaran rokok ilegal. 

Baca Juga: Penurunan Laba Emiten Rokok Berlanjut, Kebijakan Cukai Dinilai Efektif Tekan Produksi

Menurut Direktur PPKE UB, Candra Fajri Ananda, mengatakan ada hubungan signifikan antara harga dan permintaan rokok. Konsumen rokok golongan I, yang lebih sensitif terhadap harga, beralih ke rokok golongan II dan III yang lebih murah saat tarif cukai dinaikkan, tanpa mengurangi total jumlah rokok yang dikonsumsi.

“Hasil analisis tersebut selaras dengan perkembangan industri tembakau, di mana penurunan produksi terjadi paling besar pada golongan I sehingga berdampak juga pada penurunan penerimaan CHT,” kata Candra dalam keterangannya, Senin (4/11).

Ia menjelaskan ketika harga rokok golongan I naik akibat kenaikan cukai, banyak konsumen yang memilih rokok dari golongan yang lebih murah (downtrading). Hal ini tidak mengurangi konsumsi, namun justru mendorong pergeseran preferensi konsumen. 

Selain itu, kebijakan cukai yang terus naik dalam beberapa tahun terakhir, terutama yang terhitung double digit, juga disebut telah mencapai titik optimum, di mana kenaikan lebih lanjut tidak lagi efektif menurunkan konsumsi.

Baca Juga: Industri Rokok Terancam Tak Lagi Mengepul Cuan

Laporan PPKE UB tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 40% konsumen rokok di Indonesia mengaku pernah membeli rokok tanpa pita cukai. Temuan ini menunjukkan bahwa kebijakan tarif cukai selama ini telah memperburuk situasi. 

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Novat Pugo Sambodo juga melihat bahwa kebijakan kenaikan cukai rokok yang tinggi beberapa tahun belakangan justru mendorong downtrading di kalangan konsumen, beralih ke produk rokok yang lebih murah, termasuk rokok ilegal. “Kebanyakan produk yang dikonsumsi masyarakat bawah pada rokok bersifat inelastis. Tidak mengapa turun kualitas, yang terpenting tetap merokok,” ujarnya.

Novat menilai bahwa keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif CHT serta melakukan penyesuaian Harga Jual Eceran (HJE) pada tahun 2025 merupakan langkah yang tepat dalam merespons tren downtrading yang semakin marak. 

Menurutnya, fenomena downtrading ini terlihat dari penurunan produksi rokok golongan I yang terkena cukai lebih tinggi di mana terjadi penurunan produksi sebesar 14%. Sebaliknya, rokok golongan II dan III, yang lebih terjangkau, mengalami peningkatan produksi masing-masing sebesar 11,6% dan 28,2%. 

Novat memperingatkan bahwa kenaikan tarif CHT yang terlalu tinggi juga dapat menimbulkan masalah baru. “Kondisi ini pada titik tertentu akan mengakibatkan kebanyakan konsumen dengan karakteristik tersebut justru mencari cara agar tetap merokok walau ilegal.” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×