kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Capaian penerimaan Cukai 2020 tak sebanding dengan penderitaan petani tembakau


Rabu, 02 Juni 2021 / 19:13 WIB
Capaian penerimaan Cukai 2020 tak sebanding dengan penderitaan petani tembakau
ILUSTRASI. Rokok.


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Yudho Winarto

“Kami mendesak pemerintah untuk melindungi industri rokok kretek sebagai industri khas Indonesia dan padat karya, yang paling rentan terkena program efisiensi di industri hasil tembakau (IHT),” katanya.

Ekonom senior INDEF, Enny Sri Hartati berpendapat, kebijakan cukai di Indonesia eksesif. Kalau kita lihat jelas sekali bahwa tarif cukai selalu melampaui basis penetapannya, sehingga kesimpulannya tarif kebijakan eksesif. Apalagi di 2020 kemarin, karena di 2019 tidak ada kenaikan, pada 2020 dirapel.

Baca Juga: Simak poin-poin keberatan asosiasi petani tembakau Indonesia (APTI) terhadap FCTC  

Adapun tujuan cukai untuk pengendalian konsumsi dengan indikator penurunan prevalensi perokok. Enny bilang, jika kita lihat dengan instrumen kenaikan cukai yang eksesif, yang terjadi terbalik, prevalensi perokok bukan menurun tapi malah meningkat.

“Kalau kita hubungkan prevalensinya terus meningkat, padahal pertumbuhan produksi dan penjualan rokok sudah menurun. Kalau dilihat tujuan target cukai adalah pengendalian konsumsi, tapi yang terjadi justru dengan penerapan cukai yang eksesif yang menurun bukan konsumsinya tapi produksinya,” imbuhnya.

Dampak kebijakan cukai yang eksesif akan meningkatkan peredaran rokok ilegal. Merujuk hasil kajian INDEF, Enny mengatakan sebenarnya antara penurunan produksi dengan penjualan masih jauh drastis produksi, penjualannya menurun tidak terlalu drastis.

Artinya demand itu tidak terlalu terjadi penurunan. Yang mengisi kekosongan adalah rokok ilegal yang tidak membayar cukai.

“Ada korelasi antara harga rokok legal dengan peredaran rokok ilegal, begitu rokok legal naik pasti peredaran rokok ilegal naik. Ini artinya, target untuk menurunkan prevalensi perokok tidak tercapai,” tegas Enny.

Berdasarkan simulasinya, diasumsikan kalau ada peredaran rokok ilegal 5%, untuk 2020 potential loss dari penerimaan cukai sudah 4,38 triliun. Padahal data Bea Cukai persentase peredaran rokok ilegal di 2018 adalah 7%, 2017 adalah 10,9% dan sebelumnya di 2016 sebesar 12%, sedangkan di 2020 katanya sekitar 4%.



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×