Reporter: Jane Aprilyani | Editor: Jane Aprilyani
KONTAN.CO.ID - Di tengah cuaca panas Bekasi yang menyengat, bau tajam dari tumpukan sampah di TPST Bantargebang terasa menusuk hidung. Bahkan masker medis sekalipun tidak mampu menangkal aroma busuk yang merasuk.
Suara truk-truk oranye dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menderu tanpa henti, bergantian menurunkan muatan.
Gunungan sampah raksasa menjulang seperti bukit buatan, dengan lapisan plastik warna-warni yang berkilau diterpa matahari.
Di antara bau asam dan asap gas metana, Bagong (60) berjalan santai di perbukitan sampah. Ia sudah menghabiskan 26 tahun hidupnya di Bantargebang, membuat hidungnya kebal terhadap bau.
Setiap hari, sekitar 7.500 ton sampah dari Jakarta berakhir di Bantargebang. Data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta tahun 2024 menyebutkan, 43% sampah yang masuk TPST berupa sampah makanan.
Sampah plastik menyumbang 28%, adapun sisanya berupa sampah kayu, kertas, bahkan hingga B3.
Saat ini, Bantargebang menampung sekitar 55 juta ton gunungan sampah. Tingginya sekitar 40 meter atau setara dengan bangunan 16 lantai. Bagong sudah terbiasa dengan pemandangan itu.
“Sanitary landfill itu seharusnya bersih. Tapi Bantargebang faktanya open dumping, karena bikin sanitary itu mahal,” katanya kepada KONTAN belum lama ini.
Baca Juga: Ini Cara Menghasilkan Uang dari Sampah
Sampah plastik paling bikin pening semua orang. Lebih dari setengah sampah plastik yang masuk ke Bantargebang tergolong low value alias plastik bernilai rendah. Ini, misalnya, bungkus makanan ringan, kantor kresek, hingga sachet sampo dan deterjen.
Sampah jenis ini menjadi momok tersendiri. Beratnya ringan, volumenya besar, tetapi tidak punya nilai jual bagi pemulung maupun pengepul. Akibatnya, plastik jenis ini jarang diambil untuk daur ulang. Ia berakhir di TPA, dibakar, atau hanyut ke sungai dan laut.
Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup 2023, Indonesia sendiri menghasilkan 68,5 juta ton sampah per tahun.
Dari angka itu, sampah plastik mencapai 18 persen. Sekitar 3,5 juta ton plastik diperkirakan bocor ke lingkungan setiap tahun, dan sebagian besar berasal dari plastik bernilai rendah yang sulit diolah.
Bantargebang kini menjadi simbol paradoks. Ia menjadi gunungan plastik yang ringan tapi meninggalkan beban berat. “Dari sumbernya aja enggak ada pemilahan. Jadi secanggih apapun teknologi kita, pasti bermasalah,” ujar Bagong.
Di lapangan, pengelolaan plastik bernilai rendah sering kali terjebak di antara dua ekstrem: tidak laku dijual dan tidak bisa didaur ulang secara konvensional. Teknologi daur ulang kimia (chemical recycling) masih mahal, sementara sistem logistik pengumpulan sampah belum efisien.
Namun, beberapa perusahaan mulai menempuh cara berbeda. Salah satunya adalah WINGS Group, produsen barang kebutuhan rumahtangga yang banyak menggunakan kemasan fleksibel.
“Pengelolaan sampah khususnya low value adalah bagian sistem pengelolaan yang kompleks. Kami berupaya menanganinya dengan upaya kolaboratif,” ucap Sheila Kansil, perwakilan Yayasan WINGS Peduli.
Baca Juga: Perpres Sampah Terbit, Pelaku Usaha Beri Sinyal Positif Kolaborasi dengan Danantara
Melalui kolaborasi dengan Indonesia Packaging Recovery Organization (IPRO) dan startup pengelola sampah seperti Waste4Change, WINGS mendukung program pengumpulan dan pemrosesan plastik bernilai rendah agar tidak berakhir di TPA.
Dalam hal pengelolaan sampah, WINGS Group kata Sheila telah melakukan berbagai aksi dan program. Seperti Aksi Bersih di sungai, pantai, hingga kali bersama relawan dari berbagai aspek masyarakat termasuk warga sekitar, pemerintah daerah dan bisnis pengelola sampah seperti Waste4Change.
Semua sampah yang terkumpul, termasuk low value plastic, akan diproses secara bertanggung jawab oleh Waste4Change agar tidak berakhir di TPA.
Edukasi berisikan ajakan untuk kenali jenis sampah yang biasa ditemukan sehari-hari, pilah berdasarkan jenisnya, dan setor ke fasilitas daur ulang
terdekat. Hingga Agustus 2025, Yayasan WINGS Peduli telah menjangkau lebih dari 28 ribu masyarakat di lebih dari 15 kota di Indonesia.
Ada juga pendampingan Bank Sampah, bersama Waste4Change, dimana WINGS mendampingi komunitas untuk menjalankan operasional bank sampah secara mandiri.
Hingga Agustus 2025, terdapat empat unit bank sampah binaan tersebar di Jakarta Timur, Bekasi, dan Surabaya, yang telah menampung dan mengelola lebih dari 5 ton sampah non-organik sehingga tidak berakhir ke TPA, dengan total ratusan nasabah aktif.
Terakhir, Kolabor-AKSI yakni melakukan upcycle dari sampah plastik dengan kolaborasi bersama berbagai pihak untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengena pentingnya pemilahan untuk memberikan nilai baru pada sampah.
Baca Juga: Kini Sampah Besar di Jakarta Bisa Diangkut dan Dilacak Lewat Situs DLH DKI
"Saat ini juga kami sedang dalam perjalanan mengembangkan material kemasan yang lebih mudah didaur ulang sekaligus tetap melindungi kualitas produk dengan harga terjangkau, serta memberi dampak lingkungan yang lebih rendah," beber Sheila.
Di sisi lain, inisiatif pengelolaan di tingkat rumah tangga juga masih berjuang. Salah satunya dijalankan oleh Rekosistem, startup digital yang menghubungkan warga dengan layanan pengumpulan sampah daur ulang.
“Rekosistem menerima semua jenis sampah, termasuk sachet dan plastik kresek,” ungkap Ernest Layman, CEO & Co-Founder Rekosistem.
Namun, Ernest meyakini kategori sampah low value seperti kemasan makanan, kantong kresek, bungkus sachet atau plastic tidak memiliki poin karena tidak punya nilai jual. “Kami tetap terima namun tidak ada poin karena perlu biaya tambahan dalam proses daur ulang yang lebih kompleks,” pungkasnya.
Melalui aplikasi mereka, pengguna bisa memesan pickup untuk sampah rumah tangga. Sampah bernilai tinggi seperti botol PET dan kertas dihargai dalam bentuk poin yang bisa ditukar, sedangkan plastik bernilai rendah dikumpulkan untuk dikirim ke fasilitas co-processing atau pengelolaan akhir yang lebih aman.
Hingga 2024, Rekosistem mengklaim telah mengumpulkan lebih dari 4.500 ton sampah, dan mencegah sekitar 6.000 ton emisi CO2.
Bagi Ernest, keberhasilan pengolahan sampah low value bisa terealisasi dengan dukungan banyak pihak termasuk produsen atau perusahaan yang memproduksi sampah itu sendiri.
Baca Juga: Danantara: Proyek Pengolahan Sampah jadi Energi Indonesia yang Terbesar di Dunia
Sampai saat ini Rekosistem menerima dan mengelola sampah multilayer melalui skema Extended Producer Responsibility (EPR), di mana perusahaan diwajibkan untuk bertanggung jawab terhadap pengelolaan kembali kemasan produknya sesuai regulasi seperti PermenLHK No. 75 Tahun 2019.
“Jadi ada konsumen yang kirim kemasan atau plastiknya, dan perusahaan ada yang kasih insentif. Seperti P&G, Ajinomoto, Nestle dan perusahaan FMCG lain kerjasama dengan kita,” lanjut Ernest.
Sementara itu, Bijaksano Junerosano, CEO Waste4Change sekaligus penasihat Menteri Lingkungan Hidup, menyebutkan, tidak semua sampah bisa menjadi mesin uang.
“Realitanya, sampah yang bisa langsung jadi uang kurang dari 20%. Sampah bukan uang, sampah adalah tanggung jawab,” ujar Sano, September silam.
Menurut Sano, sebagian jenis sampah seperti plastik bernilai rendah harus diolah terlebih dahulu untuk memunculkan nilai ekonominya. Ia bilang, pengelolaan sampah yang optimal akan menelan biaya yang tidak sedikit.
Kendati demikian, bukan berarti sampah plastik sachet dan kresek sama sekali tidak berharga. Sejumlah pihak saat ini sedang mengembangkan pemanfaatan sampah plastik jenis ini untuk bahan bangunan.
Salah satunya dilakukan oleh Ausias Gilles, Professor of Mechanical Engineering di Université Bretagne Sud, Perancis.
Baca Juga: PGN Dorong Green Tourism Karimunjawa Lewat Teknologi Konversi Sampah Jadi Energi
Ia menjelaskan jika digabungkan dengan serat alami, sampah plastik bisa dipakai untuk berbagai produk konstruksi seperti campuran kayu, batu bata, hingga isolator. Saat ini, Gilles sedang berkolaborasi dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk mengurai persoalan sampah low value.
Gilles dan tim juga melakukan pengembangan material insulasi berbasis tanah dan jerami yang salah satunya diaplikasikan dalam bentuk panel bangunan. Berbagai kolaborasi juga dilakukannya untuk mendorong pemanfaatan low value plastic.
Ini, misalnya, dilakukan ETH Zurich dan Columbia University yang berfokus pada daur ulang kertas bekas yang dihancurkan menjadi serat selulosa defibrilasi untuk digunakan dalam bahan bangunan.
Chandra Asri juga sudah memanfaatkan sampah low value sebagai campuran aspal. Pada 2023 misalnya, perusahaan petrokimia ini menggunakan 28,8 juta lembar sampah kantong kresek seberat 216,6 ton sebagai bahan campuran untuk menggelar aspal sepanjang 23 kilometer di Garut.
Dalam prosesnya, sampah kresek dicacah dan dicampur dengan bahan lain kemudian dipanaskan hingga suhu 160° Celsius agar plastik dapat melapisi agregat yang panas.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Pusat Jalan dan Jembatan Kementerian PUPR menunjukkan bahwa campuran plastik dengan proporsi 4-6% dapat meningkatkan stabilitas jalan hingga 40 persen dibandingkan dengan aspal konvensional.
Berbagai inisiatif seperti yang dilakukan oleh Wings Group, Rekosistem, hingga Chandra Asri tampak seperti oase kecil di tengah gurun. Tapi setiap langkah kecil punya arti. Di Bantar Gebang, di antara karung-karung dan bau busuk, Bagong menatap bukit sampah yang seolah tak pernah surut.
“Kalau bisa semua orang pilah dari rumah, mungkin kerja kami juga tak seberat ini,” kata Bagong lirih.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News