kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

BPS Anggarkan Rp 4,1 Triliun untuk Pendataan Registrasi Sosial dan Ekonomi 2022-2023


Rabu, 12 Oktober 2022 / 17:29 WIB
BPS Anggarkan Rp 4,1 Triliun untuk Pendataan Registrasi Sosial dan Ekonomi 2022-2023
ILUSTRASI. BPS mengalokasikan anggaran sekitar Rp 4,1 triliun untuk melakukan pendataan registrasi sosial dan ekonomi (Regsosek). KONTAN/Cheppy A. Muchlis


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS)  mengalokasikan anggaran sekitar Rp 4,1 triliun untuk melakukan pendataan registrasi sosial dan ekonomi (Regsosek) pada tahun 2022-2023. Adapun pendataan regsosek dilakukan untuk mendapatkan gambaran komprehensif mengenai kondisi sosial ekonomi penduduk Indonesia.

Sekretaris Utama BPS Atqo Mardiyanto menerangkan, anggaran tersebut untuk 2 tahap pelaksanaan Regsosek yang dilakukan pada tahun 2023 dan 2024.

"Tahun ini Rp 3,3 triliun, tahun 2023 Rp 872 miliar," kata Atqo kepada wartawan, Rabu (12/10).

Dia mengatakan, pelaksanaan Regsosek melibatkan 400.000 petugas. Setiap petugas akan mendapatkan upah berkisar Rp 3,2 juta sampai Rp 4,1 juta.

Baca Juga: BPS: Data Registrasi Sosial dan Ekonomi Bisa untuk Penyelenggaraan Program Pemerintah

Atqo menyampaikan, pendataan akan dilakukan pada 15 Oktober 2022 - 14 November 2022.

Lalu, pengolahan data akan dilakukan pada Januari-Maret 2023. Kemudian pada April 2023 akan dilakukan forum konsultasi publik yang akan melibatkan desa dan kelurahan.

"Diharapkan bulan Juni 2023 selesai sehingga Juli mudah-mudahan sudah bisa dipublikasi dan digunakan," ucap Atqo.

Lebih lanjut, terkait garis batas kemiskinan yang pada Maret 2022 tercatat sebesar Rp 505.469/kapita/bulan, Atqo mengatakan, perhitungan tersebut didapat dari survei sosial ekonomi (Susenas). 

Adapun pendekatan yang dilakukan yakni survei yang diambil dari sampel. Jadi meski persentase penduduk kemiskinan diketahui, namun siapa saja dan dimana saja penduduk miskin tersebut belum dapat diketahui secara detail keberadaannya.

Sementara pendekatan yang dilakukan BPS pada regsosek kali ini adalah dengan sensus. Dengan demikian, dapat diketahui siapa saja dan dimana saja lokasi penduduk miskin tersebut berada.

Meski begitu, Atqo menilai, hasil Susenas dan Regsosek tidak jauh berbeda. Oleh karena itu, hasil pendataan sensus Regsosek dapat digunakan kementerian/lembaga untuk menetapkan sasaran program pemerintah/program perlindungan sosial yang akan dilakukan.

"Nanti akan diperingkat, akan di desil 1, desil 2, desil 3, sehingga yang desil 1 itu 10% yang paling bawah masyarakat. Desil 2, 20% yang paling bawah, ini tergantung nanti program program nya mau menyasar yang mana, tapi sudah ada basis datanya," jelas Atqo.

Dihubungi secara terpisah, Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan, Vivi Yulaswati mengatakan, dalam laporan tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustanaible Development Goal's/SDG's) Bappenas telah memakai indikator garis kemiskinan dari BPS dan World Bank.

"Jadi tidak masalah. Untuk alignment keduanya sebetulnya perlu kesepakatan terkait tinggi (nilai garis kemiskinan) karena ada implikasinya," ucap Vivi.

Baca Juga: Inflasi Tinggi Berpotensi Meningkatkan Jumlah Orang Miskin

Menurut Vivi, penetapan garis kemiskinan sedekat mungkin dengan kondisi riil adalah yang terbaik.

"Misalnya berimplikasi tingkat kemiskinan meningkat tidak apa karena akan membantu pemerintah menajamkan program-program pengentasan kemiskinannya," jelas Vivi.

Untuk diketahui, Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Konsep ini mengacu pada Handbook on Poverty and Inequality yang diterbitkan oleh Worldbank.

Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Penduduk dikategorikan sebagai penduduk miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Adapun, Garis Kemiskinan (GK) mencerminkan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan, baik kebutuhan makanan maupun non-makanan. GK terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM).

Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran minimum untuk kebutuhan makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).

Ssmentara Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM) merupakan nilai pengeluaran minimum untuk kebutuhan non-makanan berupa perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.

Berdasarkan data BPS, Garis Kemiskinan pada Maret 2022 tercatat sebesar Rp 505.469,00/kapita/bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp 374.455,00 (74,08%) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp 131.014,00 (25,92%).

Persentase penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 9,54%, menurun 0,17 persen poin terhadap September 2021 dan menurun 0,60 persen poin terhadap Maret 2021.

Jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 26,16 juta orang, menurun 0,34 juta orang terhadap September 2021 dan menurun 1,38 juta orang terhadap Maret 2021.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×