Reporter: Irma Yani, Dwi Nur Oktaviani | Editor: Edy Can
JAKARTA. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan ada empat permasalahan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2010. Keempat permasalahan yang ditemukan atas LKPP tahun 2010 merupakan gabungan ketidaksesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP), kelemahan sistem pengendalian intern, dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketua BPK Hadi Purnomo menuturkan empat masalah dalam rapat paripurna DPR, Selasa (31/5). Masalah pertama adalah adanya permasalahan penagihan, pengakuan dan pencatatan penerimaan perpajakan. Hadi mencontohkan seperti adanya pengakuan pendapatan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) atas subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Selain itu ada juga penagihan Pajak Bumi dan Bangunan Minyak dan Gas (PBB Migas) yang tidak menggunakan data dasar pengenaan pajak yang valid dan yang terakhir adalah transaksi pembatalan penerimaan (reversal) senilai Rp 3,39 triliun yang tidak dapat ditelusuri ke data pengganti. "Data yang ada tidak memungkinkan BPK untuk menguji kewajaran penerimaan perpajakan di atas," katanya.
Masalah kedua adalah pencatatan uang muka Bendarawan Umum Negara (BUN) tidak memadai. BPK menemukan, saldo uang muka dari rekening BUN yang disajikan pada neraca sebesar Rp 1,88 triliun tidak didukung rincian baik per jenis pinjaman, per dokumen pencairan dana talangan maupun dokumen usulan penggantiannya (reimbursement), nilai talangan dan penggantian tahun 2008-2010.
Nilai saldo uang muka itu masing-masing sebesar Rp 1,14 triliun dan Rp 1,43 triliun tidak dapat diidentifikasi, dan nilai pengajuan penggantian lebih kecil sebesar Rp 2,91 triliun dibandingkan reimbursement-nya. "Catatan yang ada tidak memungkinkan BPK menguji kewajaran uang muka BUN dan pengaruhnya terhadap catatan SAL (sisa anggaran lebih)," tandasnya.
Masalahan ketiga adalah adanya permasalahan dalam pengendalian atas pencatatan piutang pajak. Lembaga auditor negara ini menemukan, adanya penambahan piutang menurut data aplikasi piutang berbeda sebesar Rp 2,51 triliun dengan dokumen sumbernya yaitu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Tagihan Pajak (STP), dan pengurangan piutang PBB berbeda sebesar Rp 1,03 triliun dengan penerimaannya. "Data dan catatan yang ada tidak memungkinkan BPK untuk menguji kewajaran piutang pajak," ujar Hadi.
Masalahan keempat adalah adanya permasalahan dalam pelaksanaan Inventarisasi dan Penilaian (IP) Aset Tetap. BPK mencatat, ada nilai koreksi hasil IP berbeda dengan hasil koreksi pada SIMAK BMN sebesar Rp 12,95 triliun, aset tetap denga nilai perolehan sebesar Rp 5,34 triliun pada tujuh Kementerian/Lembaga (K/L) belum dilakukan IP, hasil IP pada empat K/L senilai Rp 56,42 triliun belum dibukukan. Selain itu, BPK mengatakan, pemerintah sampai saat ini belum dapat mengukur umur manfaat untuk setiap Aset Tetap sehingga pemerintah belum melakukan penyusutan terhadap aset tetap. "Nilai aset tetap yang dilaporkan bisa berbeda signifikan jika pemerintah menyelesaikan IP, mencatat seluruh hasil IP, serta memberlakukan penyusutan," tandasnya.
Anggota Komisi XI DPR Achsanul Qosasih mengatakan, hasil tindaklanjut yang dilakukan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) atas hasil pemeriksaan BPK akan disampaikan kepada komisi-komisi DPR paling lambat sebelum pembahasan APBN-P.
"Sehingga nanti kalau ada semacam punishment K/L yang mendapatkan 'catatan khusus' BPK untuk memikirkan dam merefleksikan terhadap budjet di tahun-tahun berikutnya. Jadi kementerian lembaga yang lalai dalam pembukuannya mendapatkan punishment terhadap APBN-nya," tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News