Reporter: Risky Widia Puspitasari | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Pengelolaan dana otonomi khusus menjadi salah satu hal yang disorot Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Contohnya adalah dana otonomi khusus ke Papua sebesar lebih dari Rp 54 triliun yang diberikan dari tahun 2001 sampai 2014.
Walaupun jumlah dana yang diberikan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, namun tidak efektif meningkatkan ekonomi rakyat karena lebih banyak untuk belanja pegawai. "Bukan untuk belanja modal," kata Ketua BPK Rizal Djalil di gedung DPR Jakarta, Selasa (8/7).
Dengan dana yang cukup besar, ternyata Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua sangat rendah. Pada 2011 sebesar 65,36 dan pada 2012 sebesar 65,68. Indeks itu menunjukkan tidak adanya pembangunan infrastruktur, pendidikan atau kesehatan untuk meningkatkan IPM.
Pada tahun 2002-2010, BPK telah menemukan penyimpangan penggunaan dana otonomi khusus di Papua dan Papua Barat. Penyimpangan itu disebabkan oleh tata kelola keuangan daerah yang tak sesuai budaya lokal. Menurut Rizal, dana yang ada lebih banyak dinikmati oleh birokrasi.
Oleh karena itu BPK meminta adanya evaluasi menyeluruh soal reformasi birokrasi agar penggunaan dana otonomi khusus digunakan secara proposional bukan untuk belanja pegawai. Untuk itu BPK dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan kembali berdiskusi untuk membicarakan persoalan ini dengan lebih detail. BPK merekomendasikan agar pembangunan di Papua disusun tersendiri sesuai perkembangan sosial daerah tersekut.
Ketua DPD Irman Gusman berpendapat, evaluasi harus dilakukan karena hampir sebagian besar dana habis untuk personil bukan kesejahteraan masyarakat. "Ini tugas DPD untuk memperbaiki,"kata Irman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News