kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.782   14,00   0,09%
  • IDX 7.495   15,66   0,21%
  • KOMPAS100 1.160   5,20   0,45%
  • LQ45 920   6,64   0,73%
  • ISSI 226   -0,42   -0,18%
  • IDX30 475   4,07   0,87%
  • IDXHIDIV20 573   5,09   0,90%
  • IDX80 133   0,84   0,63%
  • IDXV30 140   1,19   0,85%
  • IDXQ30 158   1,00   0,64%

BI: Rupiah melemah bukan karena tapering Off


Jumat, 20 Desember 2013 / 17:58 WIB
BI: Rupiah melemah bukan karena tapering Off
ILUSTRASI. Konsumen bertransaksi di sebuah pusat belanja di Jakarta, Selasa (8/1). KONTAN/Cheppy A. Muchlis/08/01/2019


Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Bank Indonesia (BI) meyakini loyonya rupiah sekarang ini yang berhasil menembus level 12.200 bukan karena kabar The Federal Reserve (The Fed) yang akan mulai melakukan tapering off pada Januari tahun depan.

Rupiah mengalami depresiasi terjadi akibat tingginya permintaan valuta asing (valas) dalam bentuk dolar Amerika Serikat (AS).

Gubernur BI Agus Martowardojo menegaskan, nilai tukar rupiah yang melemah di akhir tahun ini karena permintaan valas yang tinggi.

"Sedangkan supplynya lebih rendah dari permintaan, makanya rupiah melemah," ujarnya, Jumat (20/12).

Berdasarkan pantauan, rupiah terus mengalami pelemahan ketika The Fed memangkas stimulus menjadi US$ 75 miliar dari sebelumnya US$ 85 miliar per bulan.

Kurs rupiah di Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada Kamis kemarin (19/12) berada di posisi terendah Rp 12.191 per dolar AS.

Kurs tengah BI pun menunjukkan posisi 12.191, kemudian kemarin (20/12) melemah
kembali ke level 12.245.

Agus menjelaskan, permintaan dolar yang tinggi ini datang dari korporasi untuk kebutuhan membayar utang serta kebutuhan repatriasi.

Berdasarkan catatan BI, utang luar negeri swasta yang jatuh tempo pada Desember 2013 mencapai US$ 8 miliar.

Kondisi mata uang garuda yang terbang tinggi ini idealnya harus diperbaiki dengan cara memperbaiki current account defisit atawa defisit transaksi berjalan.Inilah yang kemudian menjadi perhatian BI.

BI ingin menurunkan defisit hingga berada di bawah 3% dari PDB di tahun 2014. Untuk tahun ini, secara total BI memperkirakan defisit akan berada di kisaran 3,6% dari PDB atau sebesar US$ 31 miliar-US$ 32 miliar. "Ini yang harus dikawal," tandas Mantan Menteri Keuangan ini.

Kepala Ekonom Mandiri Destry Damayanti menilai, pelemahan rupiah yang terjadi sekarang ini memang karena permintaan kita yang tinggi.

Menurut Destry, transaksi pasar valas kita per harinya cuma US$ 1,9 miliar hingga US$ 2,2 miliar. Padahal kebutuhan akan dolar untuk impor saja setiap bulannya bisa mencapai US$ 15 miliar.

Belum lagi utang luar negeri swasta yang jatuh tempo di Desember mencapai US$ 8 miliar. "Jadi volume transaksi tidak naik tapi kebutuhan dolar bertambah," tandas Destry.

Apalagi, di akhir tahun banyak masyarakat Indonesia yang akan berlibur ke luar negeri. Ini tentu sangat memberikan tekanan pada mata uang rupiah.

Di sisi lain, Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto berpendapat, soal tapering The Fed tidak perlu dikhawatirkan.

Permasalahan ini sudah sejak lama diantisipasi pemerintah, BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ataupun Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)  dengan menyiapkan protokol manajemen krisis. Rupiah dalam hal ini tidak akan negatif kecuali hasil ulah para spekulan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×