Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) melihat, kenaikan harga minyak mentah dunia yang masih berlangsung di awal tahun ini dipercaya tidak akan banyak berdampak ke inflasi.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menjelaskan, di tengah lonjakan harga minyak dunia, inflasi 3,5% plus minus 1% masih bisa terpenuhi tahun ini. Namun, faktor harga minyak tetap merupakan salah satu yang harus diwaspadai.
“Kalau sekarang ada perubahan harga minyak, secara blended akan dilihat, tapi (inflasi) within range,” kata Agus di Kantor Kemenko Perekonomian, Rabu (3/1).
Menurut Agus, meski pemerintah telah berjanji untuk tidak menaikkan tarif listrik dan harga eceran BBM bersubsidi jenis premium dan solar/biosolar hingga 31 Maret 2018, risiko tetap ada.
“Risiko harga minyak dunia ini ada, tapi kita tahu harga minyak dunia ini rata-rata setahun. Dan rata-rata setahun kalau kemarin di pasar US$ 48, kalau sekarang di US$ 60, secara rata-rata di atas US$ 50 bisa terjadi,” Namun demikian, ia yakin harga minyak dunia tidak sampai US$ 60. “Tapi bisa di US$ 52 sampai US$ 55 per barel kalau kami lihat,” ucapnya.
Namun demikian, baginya, tren kenaikan harga minyak dunia ini sebenarnya positif bagi APBN lantaran ada penerimaan yang bersumber dari minyak.
“Ini membuat semua rencana spending anggaran, khususnya konsumsi pemerintah dan rencana pemberian bantuan sosial ini bisa direalisasi dan ini bagus bagi pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Suahasil Nazara sebelumnya mengakui, kenaikan harga minyak dunia secara tidak langsung akan mempengaruhi inflasi, tetapi tidak terlalu besar.
Sebab hanya harga BBM non-penugasan saja yang kemungkinan akan dinaikkan oleh penjualnya seperti Pertamina dan Shell.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira bilang, kenaikan harga minyak dunia akan berdampak lebih besar ke inflasi. Walau harga BBM subsidi tidak naik, namun jika pasokannya berkurang, sama saja memaksa masyarakat beralih ke BBM non subsidi yang lebih mahal. Hal itu memicu inflasi semu administered price.
"Inflasi bisa di atas 4%. Selain itu nanti ada kebijakan aneh-aneh dari PLN, misal penggabungan golongan listrik, subsidi listrik disesuaikan dan lain-lain," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News