Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) melihat Indonesia masih menarik di mata para investor pasar keuangan. Hal tersebut membuat bank sentral juga optimistis, nilai tukar rupiah sepanjang tahun ini masih akan mengalami apresiasi.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, daya tahan Indonesia saat ini lebih kuat. Hal tersebut disebabkan oleh inflasi tahun lalu yang terjaga di angka 3,02% year on year (YoY) surplus neraca perdagangan yang mendorong surplus neraca pembayaran tahun lalu US$ 12 miliar, hingga pertumbuhan ekonomi tahun lalu yang membaik menjadi 5,02%.
Lebih lanjut menurut Agus, daya tahan ekonomi yang lebih kuat juga terjadi seiring dengan kewajiban penggunaan rupiah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai Peraturan BI Nomor 17/3/PBI/2015 yang berlaku sejak Juli 2015 lalu.
Hal itu membuat, besaran transaksi valas di Indonesia menjadi lebih rendah, yaitu US$ 1,3 miliar per bulan dari sebelumnya US$ 8 miliar per bulan.
Daya tahan Indonesia yang lebih kuat tersebut membuat nilai tukar rupiah di akhir tahun lalu bisa terapresiasi 2,34% year to date.
Padahal, di saat yang bersamaan pasar keuangan global mengalami guncangan akibat terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) dan banyak mata uang negara-negara di dunia yang mengalami depresiasi.
Capaian itu jauh lebih baik dibanding tahun 2013 silam, dimana saat itu AS berencana untuk mulai mengurangi stimulus moneternya. Saat itu, kurs rupiah mengalami depresiasi 21% year to date. "Di tahun 2017, rupiah bisa menguat di kisaran 1% (year to date)," kata Agus, Kamis (12/4) lalu.
Lebih lanjut menurutnya, saat AS benar-benar mengurangi stimulus moneternya dengan mengerek suku bunga acuan Bank Sentral AS (The Fed) Maret lalu, nilai tukar rupiah justru bergerak positif. Setelah pengumuman kenaikan The Fed 16 Maret dini hari, rupiah di hari itu menguat ke level Rp 13.336 per dollar AS dari hari sebelumnya yang masih berada di level Rp 13.375 per dollar AS.