Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Herlina Kartika Dewi
JAKARTA. Tren kenaikan utang luar negeri Indonesia terutama dari sektor swasta terus menjadi perhatian Bank Indonesia (BI). Karenanya, BI kini tengah mengkaji berbagai kebijakan untuk mengendalikan utang luar negeri sektor swasta ini.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, saat ini BI tengah melakukan berbagai kajian untuk mencermati dan mengendalikan utang luar negeri swasta. Setidaknya, ada tiga kebijakan yang tengah dikaji BI, yakni, pertama, pemberlakukan batas maksimal rasio utang luar negeri dibandingkan dengan asetnya. Bila besaran utang sudah melebihi batas maksimal rasio asetnya, maka korporasi tidak diperbolehkan untuk berutang.
Kedua, pemberlakuan syarat peringkat utang untuk menarik utang luar negeri. Semakin bagus peringkatnya, maka kesempatan korporasi untuk menarik utang luar negeri semakin besar. Sebaliknya, bagi perusahaan yang peringkat utangnya masih buruk, maka kesempatan untuk menarik utang akan semakin kecil lantaran risiko gagal bayarnya masih besar. Ketiga, BI akan mengkaji pengendalian utang luar negeri swasta lewat instrumen lindung nilai (hedging) utang valuta asing (valas). "Kami akan melihat perkembangan perusahaan yang melakukan hedging, sudah berkembang atau tidak. Risiko kerugian nilai tukar meningkat atau tidak," kata Perry, akhir pekan lalu.
Sayangnya Perry masih enggan merinci kebijakan apa yang akan dikeluarkan BI untuk mengendalikan utang luar negeri swasta. Catatan saja, dari tiga kajian tersebut, saat ini yang sedang dilakukan ialah melakukan lindung nilai utang valas, meski masih sebatas himbauan dan belum menjadi aturan wajib bagi perusahaan.
Berdasarkan data BI, per April 2014 total utang luar negeri Indonesia sebesar US$ 276,588 miliar, naik 7,6% dari periode yang sama tahun lalu. Rinciannya, utang luar negeri pemerintah US$ 131 miliar dan utang luar negeri swasta US$ 145,62 miliar.
Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistyaningsih bilang tren peningkatan laju utang luar negeri swasta perlu diwaspadai oleh BI. Karenanya, kata dia, perlu ada upaya dari BI selain himbauan untuk memitigasi risiko mata uang melalui lindung nilai. Bahkan, ke depan seharusnya BI bisa mewajibkan lindung nilai untuk utang valas bagi perusahaan. Selain itu, pembatasan utang luar negeri dengan ukuran aset juga harus dilakukan. "Paling tidak, batasan utang yang diperbolehkan maksimum tiga kali dari aset," kata Lana.
Bila rasio utang sudah lebih dari tiga kali asetnya, kata Lana pemerintah bisa memberikan sanksi. Misalnya dengan mencabut insentif pajaknya. Tentu saja hal ini perlu kerjasama antara pemerintah dan BI. Upaya lainnya, menurut Lana, bagi korporasi yang berutang perlu melakukan pencadangan berupa deposito yang jumlahnya minimal tiga kali dari besaran cicilan utangnya. Nah, deposito ini bisa ditempatkan di perbankan dalama negeri sebagai jaminan bila sewaktu-waktu terjadi gagal bayar.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti bilang, biasanya, ukuran yang dipakai untuk menimbang utang perusahaan adalah rasio utang terhadap ekuitas atau modalnya (debt to equity rasio). Sedangkan rasio utang terhadap aset selama ini masih belum banyak digunakan.
Destry melihat bila aturan ini benar-benar diterapkan, hasilnya bisa sedikit menahan laju utang swasta. Sebab, perusahaan akan lebih berhati-hati dalam berutang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News