Reporter: Agung Jatmiko, Andri Indradie, Merlina M. Barbara, Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi
Mendapat uang pensiun setiap bulan bukan lagi monopoli pegawai negeri sipil. Semua karyawan swasta termasuk buruh kelak akan memperoleh uang pensiun bulanan. Soalnya, mulai 1 Juli 2015 nanti, seluruh pekerja wajib menjadi peserta Program Jaminan Pensiun dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Pelaksanaan program tersebut tinggal menunggu Peraturan Pemerintah (PP) tentang Jaminan Pensiun yang saat ini dalam proses penggodokan. Tapi, sejumlah poin penting dalam calon beleid tersebut, Elvyn G. Massasya, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, bilang, sudah ketok palu.
Pertama, pemerintah sudah menetapkan besaran iuran Program Jaminan Pensiun sebesar 8% dari upah pekerja per bulan, dengan komposisi: pemberi kerja menanggung 5% dan pekerja 3%. Kedua, dengan angka iuran sebesar 8%, manfaat pensiun yang bisa diterima pekerja saat sudah tidak bekerja lagi sekitar 40% dari nilai gaji terakhir berdasarkan pada manfaat pasti yang akan diterima mereka setiap bulan.
Ketiga, iuran 8% yang dijadikan sebagai dasar perhitungan adalah dari gaji pokok ditambah tunjangan tetap dengan hitungan batas atas sebesar Rp 10 juta. Maksudnya, bagi pekerja yang upahnya di atas Rp 10 juta, misalnya, Rp 50 juta, nilai iuran 8% tetap akan dikalikan Rp 10 juta sebagai batas atas.
Tentu saja, Elvyn mengatakan, mereka yang gajinya Rp 50 juta mungkin akan berpikir bakal menerima uang pensiun yang sedikit karena pengkalinya cuma Rp 10 juta. Pada kasus ini, peserta dipersilakan mengambil program pensiun lain di luar BPJS Ketenagakerjaan.
Keempat, kepesertaan jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan bersifat wajib untuk seluruh pekerja penerima upah maupun pekerja bukan penerima upah seperti artis. Tapi, penerapan kewajiban ini akan berlangsung secara bertahap, dimulai dari perusahaan yang mempunyai minimal 50 pekerja terlebih dahulu. “Dengan beberapa kriteria tambahan, seperti jumlah aset, omzet, dan sebagainya,” ungkap Evlyn.
Kelima, masa iuran ditetapkan selama minimal 15 tahun. Bagi peserta yang menjadi peserta namun sudah masuk usia pensiun sebelum masa 15 tahun itu selesai, jaminan pensiun akan dibayarkan secara penuh di muka alias lump sum, seperti Program Jaminan Hari Tua BPJS Ketenagakerjaan.
Meski kelak uang pensiunnya bertambah, karena mendapat juga dari Program Jaminan Hari Tua dan uang pensiun dari perusahaan, tak semua pekerja menerima Program Jaminan Pensiun BPJS Ketenagakerjaan sebagai kabar gembira. Bahkan, ada juga, lo, pekerja yang belum tahu keberadaan BPJS yang bakal beroperasi penuh per tanggal 1 Juli 2015 nanti.
Sebagian lagi, mengganggap sama BPJS Ketenagakerjaan dengan BPJS Kesehatan. Sisanya, merasa Program Jaminan Pensiun bakal membebani pekerja lantaran ada lagi uang yang harus dirogoh dari kantong alias menambah beban.
Agustina Aji, staf Tata Usaha Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya, contohnya. Sampai sekarang, ia belum tahu tentang BPJS Ketenagakerjaan. Dia punya alasan: universitas tempatnya bekerja belum menyosialisasikan lembaga itu. Alhasil, ia juga belum pernah mendengar tentang kabar Program Jaminan Pensiun.
Selama ini, perusahaannya bekerja memang sudah mengikuti program dana pensiun yang dikelola oleh Yayasan Dana Pensiun Katolik yang berpusat di Semarang. Iuran tiap bulannya sekitar Rp 150.000.
“Kurang lebih, peraturannya begini. Jika karyawan laki-laki, dana pensiunnya bisa dipindahtangankan, baik ke anak atau istri. Sebaliknya, jika perempuan tidak bisa. Kecuali, berstatus janda,” tutur Agustina.
Kepesertaan BPJS, lanjut Agusntina, bakal menambah beban pengeluaran tiap bulan. “Berat, karena harus membayar iuran lagi. Apalagi, harga-harga bahan pokok sekarang sudah naik,” cetus Agustina.
Beda lagi dengan Bagus Handoko, pegawai swasta di Jakarta, mengaku telah mengikuti program BPJS sebelum program ini diwajibkan oleh pemerintah. Sebenarnya, perusahaan tempat ia bekerja telah mengikutsertakan karyawannya pada program kesehatan dan pensiun melalui perusahaan asuransi Allianz. Namun, hal ini tak menghalangi niatnya untuk tetap menjadi peserta BPJS. “Double protection, kan, jauh lebih baik ketimbang hanya mengambil satu,” ujarnya.
Selain itu, ia berasalan, ada beberapa jenis layanan kesehatan yang tidak ditanggung oleh asuransi yang diambil kantornya. Dus, ia berinisiatif mengambil BPJS dan mengikutsertakan istrinya. Motif lainnya, ia mendukung BPJS mengingat Indonesia saat ini sedang mengalami masalah demografik.
Sekitar 66% dari total penduduk merupakan angkatan kerja. Sisanya, terdiri dari penduduk yang tidak bekerja. Di sisi lain, komposisi penduduk ini menguntungkan. Tapi masa dua puluh atau tiga puluh tahun lagi, di mana angkatan kerja banyak yang sudah pensiun, akan menjadi masalah. (lihat tabel).
Karena itulah, berbeda dengan Agustina, Bagus bilang iuran sebesar 3% sebenarnya bukan merupakan beban. Pasalnya, manfaat hasil iuran tersebut nantinya akan diterima oleh karyawan ketika yang bersangkutan telah pensiun. Selain itu, berdasar aturan yang berlaku, iuran dana pensiun yang dibayar pekerja bisa menjadi pengurang pajak penghasilan Pasal 21. Hal ini juga berlaku ketika pekerja mengikuti program dana pensiun dari DPLK atau DPPK selama ini.
Penuh persoalan
Sementara kritik pedas datang dari Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Sekretaris Jenderal Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS). Kata Said, dalam jangka panjang memang program ini kabar gembira bagi pekerja swasta lantaran mendapat jaminan pensiun.
Meski begitu, banyak hal yang masih perlu didiskusikan dan diperjelas. Pertama, pemerintah menyampaikan informasi kurang jelas. Menurut Said, tingkat penghasilan pensiun para buruh nanti hanya sekitar 25% dari upah terakhir. Ini bukan sebesar 40% seperti yang disampaikan Elvyn. Nilai 25% itu tentu saja sangat kecil. Karena itulah, KSPI dan berbagai serikat buruh yang lain bersepakat meminta pemerintah menaikkan besaran 8% menjadi 12% minimal dan maksimal 15% dengan komposisi nilai iuran pekerja tetap sebesar 3%.
Sebab, dengan iuran yang makin besar, manfaat pensiun nantinya akan sama dengan dengan pegawai negeri sipil (PNS) dan anggota TNI-Polri. “Karena itulah kami meminta pemerintah menaikkan iuran agar tidak ada diskriminasi antara pekerja swasta dengan PNS atau TNI-Polri,” tegas Said.
Bukan tanpa alasan jika KSPI mengusulkan angka iuran sebesar 12%-15%. Perusahaan-perusahaan Jepang yang ada di Indonesia selama ini sudah memiliki program dana pensiun di mana perusahaan membayar iuran 9% dan pekerja 3%. Dibandingkan negara-negara tetangga, jumlah iuran Indonesia memang kelewat kecil.
Di Singapura iuran sebesar 33% dengan 22% dibayar perusahaan pemberi kerja, sementara sebesar 11% dibayar oleh pekerja. Di Malaysia, iuran program jaminan pensiun sebesar 23%, sebesar 12% dibayar oleh pengusaha, sisanya sebesar 11% iuran pekerja.
Kedua, tentang dana cadangan. Dana ini diperlukan jika saat akumulasi iuran jaminan pensiun dan hasil pengembangan dana tidak mencukupi untuk pembayaran manfaat pensiun ke peserta. Maklum saja, jika ini terjadi, tingkat solvabilitas BPJSKT terganggu. “Kami mengusulkan dana cadangan ini sebesar 1% yang sumbernya bukan dari dana APBN,” tegas Said. Dana kontingensi ini, kata Said, merupakan perintah Undang-Undang meski tak disebutkan berapa nilainya.
Ketua Bidang Jaminan Sosial Asosiasi Pengusaha Indonesia, Timoer Soetanto, setuju soal aturan jaminan pensiun masih banyak bolong sana-sini. Contohnya, sama sekali tidak menyinggung tentang UU Ketenagakerjaan. “Jadi, beban dobel semua. Padahal, sebenarnya di roadmap BPJS ketenagakerjaan yang disusun Bappenas, harus diharmonisasikan dengan UU 13 tentang ketenagakerjaan,” cetus Timoer.
Namun, yang lebih terpenting lagi, darimana hitungan 8% tersebut? Apakah ada yang mampu meyakinkan, tingkat penghasilan pensiun 40% dari gaji terakhir itu nanti mampu membuat seorang pekerja swasta memenuhi kebutuhan dasar atau hidup
layak?
Elvyn menimpali, formulasi iuran 8% merupakan hasil hitungan final yang menurut pemerintah paling masuk akal. “Para aktuaris juga sudah menghitung, iuran tersebut merupakan angka yang pas. Ingat, BPJSKT ini justru bertujuan agar pekerja menerima manfaat untuk memenuhi kebutuhan dasar. Jika ingin pensiun lebih besar, pekerja bisa ikut program pensiun lain di luar BPJSKT,” tegasnya.
Nah, terserah kepada sendiri Anda para pegawai.
Laporan Utama
Mingguan Kontan No. 30-XIX, 2015
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News