Sumber: TribunNews.com | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Research Coordinator DDTC Indonesia Denny Visaro menjelaskan kebijakan simplifikasi yang dianggap dapat menyebabkan terjadinya oligopoli atau monopoli pada industri hasil tembakau dinilai mengada – ada dan tidak beralasan.
Sebaliknya, jika aturan simplifikasi diterapkan, akan mendorong terciptanya level of playing field yang lebih setara.
Menurut Denny, terdapat tiga permasalahan fundamental terkait kebijakan CHT dengan regulasi yang berlaku saat ini sehingga salah satu dampaknya yakni terjadinya persaingan yang tidak sehat.
Baca Juga: Indonesian Tobacco (ITIC) tunda sejumlah rencana ekspansi pasar akibat Covid-19
Pertama berkaitan dengan struktur tarif dari produk hasil tembakau yang bersifat kompleks, berkaitan dengan penyesuaian tarif CHT dan HJE yang tidak menentu baik antar golongan maupun antar jenis hasil tembakau dan terakhir berkaitan dengan aspek pengendalian produk tembakau.
“Konsekuensi dari tiga permasalahan tersebut sangat beragam yakni mulai dari potensi masih adanya shortfall untuk penerimaan CHT pada tahun ini, hingga level of playing field yang tidak setara antara pelaku bisnis yang memiliki hubungan istimewa dengan berbagai pabrikan besar dan para pelaku bisnis skala mikro dan menengah yang independen karena banyaknya strata tarif CHT di Indonesia,” jelas Denny dalam keterangannya, Senin (27/7).
Pemerintah sendiri sebenarnya telah mengupayakan untuk menutup potensi masalah tersebut melalui PMK 146/2017 yang menghadirkan peta jalan simplifikasi strata tarif CHT secara bertahap hingga mencapai 5 layer rokok kategori SKM, SPM, SKT pada tahun 2021.
Berdasarkan regulasi tersebut, penyederhanan strata tarif cukai ini dilakukan untuk mencapai tiga tujuan utama yaitu optimalisasi penerimaan CHT, meningkatkan kepatuhan pengusaha pabrik hasil tembakau atau importir, serta penyederhanaan sistem administrasi di bidang cukai. Akan tetapi, simplifikasi ini batal dilanjutkan pasca terbitnya PMK 156/2018.
Saat ini, strata tarif CHT di Indonesia bersifat multi layer yang kompleks dengan adanya 10 layer. Perusahaan rokok yang memiliki modal serta kapasitas produksi yang besar dapat memanfaatkan kerumitan dari strata tarif CHT melalui sistem pembatasan produksi tersebut untuk bertahan di golongan 2.
Baca Juga: Indonesia dan ASEAN kerjasama penghindaran pajak berganda
Selain itu, dikarenakan kenaikan tarif CHT yang akan terjadi terus-menerus, para produsen juga memiliki potensi yang semakin besar untuk menghindari beban cukai melalui eksploitasi layer tarif golongan yang lebih rendah. Cara yang digunakan melalui strategi pembatasan produksi hingga melakukan akuisisi pabrikan di layer yang lebih rendah.
“Celah dari kebijakan yang ada saat ini menjadikan entitas besar di IHT dapat memanfaatkan tarif CHT untuk golongan 2 maupun golongan 3. Padahal faktanya, jika ditinjau dari sisi entitas grup usaha, pelaku bisnis IHT ini sudah sepatutnya berada di golongan teratas masing – masing kategori. Dengan kata lain, kenaikan golongan strata tarif CHT untuk perusahaan besar ke golongan 1 akan menjadikan persaingan usaha justru semakin adil, terutama bagi pabrikan kecil menengah,” kata Denny.
Kata Denny, kondisi yang terjadi saat ini justru sebaliknya, di mana perusahaan kecil menengah di golongan 2 dan 3 justru harus bersaing langsung dengan entitas besar melalui tarif CHT dan HJE yang sama. “Pada akhirnya persaingan usaha di IHT nasional menjadi kurang adil dan berimbang,” ujarnya.
Sementara itu berdasarkan pemetaan golongan CHT produk SKM, SPM dan SKT dari berbagai perusahaan IHT di Indonesia yang mengacu pada entitas induknya yang ditinjau dari pita cukai tahun 2019, DDTC Fiscal Research menemukan beberapa perusahaan yang memiliki entitas induk raksasa di IHT yang masih mendapatkan keringanan tarif CHT untuk golongan 2 dan 3.
Baca Juga: Pengamat: Simplifikasi struktur cukai ciptakan keseimbangan industri rokok
Padahal, perusahaan – perusahaan tersebut memiliki keterkaitan baik langsung maupun tidak langsung dengan pemain bear di IHT.
Berdasarkan klasifikasi entitas induk dengan produk rokok dari masing – masing perusahaan tersebut, ditemukan bahwa simplifikasi yang mengacu pada PMK 146/2017 tidak akan mematikan pabrikan kecil. Sebaliknya simplifikasi ini mampu menutup celah di mana pabrikan besar bermain di golongan yang seharusnya dimanfaatkan untuk pabrikan kecil. (Reynas Abdilah)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Simplifikasi Cukai Tembakau Dituding Picu Oligopoli, Ini Kata Pengamat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News