kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Belum ada keputusan dari Arab Saudi, Jokowi diminta tunda pengiriman haji tahun ini


Jumat, 22 Mei 2020 / 13:57 WIB
Belum ada keputusan dari Arab Saudi, Jokowi diminta tunda pengiriman haji tahun ini
ILUSTRASI. Petugas mendampingi jamaah haji setibanya di tanah air di Bandara Adi Soemarmo, Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (28/8). Sebanyak 360 jamaah haji kloter pertama asal Kabupaten Tegal kembali ke tanah air setelah menunaikan ibadah haji. ANTARA FOTO/Aloysius Ja


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komnas Haji dan Umrah mendorong agar Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Agama segera mengambil kebijakan tegas dengan menunda pengiriman misi haji Indonesia tahun 2020. Hal ini karena pandemi Covid-19 yang masih menjadi gejala global dan belum ada tanda-tanda kapan akan berakhir, termasuk di Indonesia maupun di negara tuan rumah, Arab Saudi.

"Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia yang mendapat kuota terbanyak 221 ribu jemaah tentu sangat berkepentingan untuk melindungi keselamatan jiwa warganya dari ancaman virus mematikan (hifzun nas)," kata Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (22/5).

Baca Juga: Kasus corona tembus 5,12 juta, ini 20 negara dengan kasus tertinggi

Mustolih menilai, seharusnya Presiden Jokowi sebagai kepala pemerintahan dari sebuah negara yang berdaulat secepatnya mengambil kebijakan demi keselamatan jiwa ratusan ribu jemaah berikut ribuan petugas yang berasal dari berbagai instansi di luar Kemenag, tanpa menunggu keputusan pemerintah Arab Saudi.

"Sangat sulit menerapkan strategi social dinstancing maupun physical distancing pada saat penyelenggaraan ibadah haji, terutama pada saat agenda-agenda krusial seperti thawaf, wukuf, sa’i, lempar jumrah dimana 1,3 juta orang dari berbagai penjuru dunia berkumpul pada saat yang bersamaan. Untuk saat ini, masih sangat beresiko memberangkatkan jemaah saat ini," jelas dia.

Selain alasan-alasan tersebut, Mustolih mengatakan, ada beberapa hal lain yang bisa menjadi landasan Presiden (pemerintah) menunda (meniadakan) pelaksanaan rukun islam kelima pada tahun 2020.

Pertama, pemerintah masih belum mencabut status darurat bencana nasional akibat pandemic covid-19 sebagaimana tertuang melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional yang diberlakukan sejak 13 April 2020.

Baca Juga: Sebanyak 1.266 perusahaan langgar PSBB Jakarta, 210 di antaranya disegel

Oleh karena itu, kata dia, segala ketentuan dan pendekatan mestinya menggunakan perspektif kebencanaan. Dengan kata lain penundaan pemberangkatan misi haji bisa merujuk beleid tersebut bukan karena keinginan pemerintah.

"Akan tetapi terhalang oleh bencana non alam berupa Covid-19 yang melanda dunia sehingga tugas dan kewajiban pemerintah menyelenggarakan haji terhalang oleh bencana atau dengan kata lain terjadi force majeur," terang dia.

Kedua, aturan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) masih berlaku di berbagai daerah. Jika pemerintah konsisten terhadap aturan PSBB maka larangan berkumpul atau ‘pengarahan massa’ juga berlaku terhadap kegiatan apapun tak terkecuali prosesi pemberangkatan jemaah haji yang melibatkan ratusan ribu orang.

Ketiga, akan keluar biaya/anggaran ekstra jumbo minimal terkait dua sektor penting yaitu penerbangan (transportasi udara) dan kesehatan. Sebab, Peraturan Menteri Perhubungan menyebutkan, perusahaan maskapai hanya boleh mengangkut 50% dari daya tampung karena harus memberlakukan social distanscing di dalam pesawat. "Sehingga untuk keperluan haji harus menyediakan dua kali lipat angkutan pesawat yang sudah dijadwalkan, baik untuk pemberangkatan maupun pemulangan," ucap dia.

Baca Juga: Asal tidak keluar Jabodetabek, polisi tak larang mudik lokal

Keempat, tenaga kesehatan (nakes) seperti dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya juga harus ditambah secara signifikan untuk menjaga kesehatan jemaah dan petugas. Padahal saat ini peran mereka tengah difokuskan untuk membantu menangani covid 19 di dalam negeri yang masih fluktuatif.

Kelima, misi jemaah haji yang berjumlah 221 ribu orang dikhawatirkan berpotensi terinveksi selama prosesi haji menjadi cluster baru, baik selama proses di tanah air maupun di tanah suci. Sebab, jemaah berinteraksi dengan jutaan jemaah lainnya dari berbagai negara. "Sehingga manakala pulang ke tanah air sangat potensial menjadi cluster baru Covid-19, tentu saja semua pihak tidak menginginkan ini akan terjadi," ujar dia.

Baca Juga: Presiden Jokowi dan para menteri tak adakan open house Lebaran tahun ini

Keenam. Kesiapan mental dan fisik petugas haji (di luar petugas medis) karena kurikulumnya tidak disiapkan dan didesain sejak awal untuk menghadapi situasi seperti saat ini harus berjibaku menghadapi ‘musuh’ tak terlihat seperti wabah covid-19. Sehingga dikhawatirkan bisa berdampak pada pelayanan. "Sebab salah satu faktor penentu sukses tidaknya penyelenggaraan ibadah haji adalah kinerja para petugas di lapangan," terang dia.

Ketujuh, asrama haji Pondok Gede yang selama ini berfungsi sebagai transit untuk keberangkatan dan menampung jemaah yang cukup besar saat ini diperuntukkan sebagai ‘rumah sakit’ sementara penanganan isolasi pasien covid-19. "Jika mencari alternatif tempat lain, akan menambah biaya ekstra yang cukup besar," ungkap dia.

Kedelapan, kondisi Arab Saudi belum aman dan kondusif karena masih dikepung covid-19. Berdasarkan data Worldometers, sampai 18 Mei 2020, sudah ada 57.345 kasus positif corona di Arab Saudi. Dari jumlah tersebut, 320 jiwa meninggal dunia dan 28.748 pasien sembuh. Artinya, masih ada 28.277 pasien Covid-19 yang dirawat di Saudi.

Baca Juga: Begini proyeksi perkembangan ekonomi di tengah wabah corona

"Arab Saudi saat ini berada di peringkat 15 dalam daftar negara yang memiliki jumlah pasien Covid-19 terbanyak di dunia. Pemerintah harus mencermati kondisi ini sebagai pertimbangan untuk mengambil keputusan," tutur Mustolih.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×