kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45865,30   3,63   0.42%
  • EMAS1.361.000 -0,51%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Belanja Perpajakan Diramal Capai Rp 421,82 Triliun pada 2025, Begini Kata Pengamat


Sabtu, 08 Juni 2024 / 16:45 WIB
Belanja Perpajakan Diramal Capai Rp 421,82 Triliun pada 2025, Begini Kata Pengamat
ILUSTRASI. Pajak.


Reporter: Rashif Usman | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memproyeksikan nilai belanja perpajakan pada tahun 2025 mencapai Rp 421,82 triliun. Nilai belanja perpajakan tersebut meningkat dibandingkan tahun ini yang mencapai Rp 374,53 triliun.

Adapun porsi terbesar ditujukan untuk belanja perpajakan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan barang mewah (PPN & PPnBM) sebesar Rp 262,3 triliun, atau meningkat dari tahun ini sebesar Rp 228,1 triliun.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan selama tidak ada perubahan kebijakan, peningkatan nilai belanja perpajakan lebih disebabkan faktor ekonomi, baik karena peningkatan permintaan maupun harga. 

"Contoh beras mendapatkan fasilitas PPN. Besaran belanja perpajakan dari komoditas beras tergantung dua hal yakni besaran kualitas konsumsi dan harga," kata Fajry kepada Kontan, Kamis (6/6).

Baca Juga: Sektor Properti dan Kendaraan Listrik Dinilai Perlu Dapat Insentif Pajak Tahun Depan

Menurutnya, semakin tinggi konsumsi masyarakat atas beras semakin tinggi juga belanja perpajakan. Hal ini berlaku sama dengan harga, di mana apabila harga makin tinggi maka semakin tinggi nilai belanja perpajakan dari beras.  

"Sektor mana yang perlu diberikan fasilitas PPN? Menurut saya untuk PPN fokus utamanya adalah penerimaan. Kalau untuk mendorong dunia usaha dan tujuan lainnya, kita bisa menggunakan fasilitas PPh. Best practice-nya seperti ini," katanya.

Ia menegaskan fasilitas PPN yang diberikan lebih karena faktor teknis. Jika secara teknis tidak bisa diadministrasikan maka perlu diberikan fasilitas pengecualian.

"Sayangnya, dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ada banyak sekali kriteria objek yang mendapatkan fasilitas PPN tidak dipungut," ujarnya.

Selain fasilitas PPN tidak dipungut dan dikecualikan, ambang batas Pengusaha Kena ajak (PKP) PPN juga berkontribusi paling besar terhadap belanja perpajakan. Oleh karenanya, perlu evaluasi besaran ambang batas PKP PPN.

"Begitu pula dengan insentif PPh. Perlu benchmarking dengan best practice mana yang perlu diubah. Mana yang sudah tidak efektif atau tidak sesuai dengan konteks sekarang itu yang perlu diubah atau evaluasi," jelasnya.

Baca Juga: Cadangan Devisa Indonesia pada Mei 2024 Meningkat Dipicu Penerbitan Global Bond

Kendati demikian, ia juga menerangkan untuk menghapus objek atau subjek yang fasilitas pajak, tekanan politiknya besar sekali. Dirinya juga mengakui bahwa ini bukan kebijakan yang populis.

"Ada beberapa ketentuan yang harus mengubah pasal dalam UU, yang mana feasibility dari sisi politik jadi semakin sulit. Dan, pengurangan fasilitas perpajakan ini bisa menjadi solusi peningkatan penerimaan dalam waktu singkat. Namun kembali, faktor politik membuat opsi ini sulit dijalankan," tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Pre-IPO : Explained Supply Chain Management on Efficient Transportation Modeling (SCMETM)

[X]
×