Sumber: Kompas.com | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Mochammad Afifuddin mengatakan, upaya delegitimasi terhadap Bawaslu dan KPU bisa disebut sebagai bentuk kekerasan pemilu.
Upaya delegitimasi yang dimaksud adalah penyebaran informasi hoaks dan tuduhan yang tidak berdasar pada fakta, yang ditujukan ke penyelenggara pemilu atau terkait dengan tahapan pemilu.
"Ketika ada informasi yang salah disebarkan ke publik, kemudian pesannya yang tertangkap adalah penyelenggara tidak netral, secara tidak langsung orang akan berpikir bahwa kami tidak netral, kami berpihak ke kanan dan ke kiri, itu kekerasan," kata Afif di kantor Bawaslu, Jakarta Pusat, Rabu (13/3).
"Kekerasan yang halus terhadap kami seakan dituduh tidak netral pada saat melakukan pekerjaan-pekerjan. Padahal itu adalah informasi yang tidak benar kemudian dipahami orang yang tidak tahu persis seolah-olah informasi itu benar," sambungnya.
Menurut Afif, informasi hoaks terkait pemilu biasanya disebarkan oleh pihak-pihak yang tidak terlalu jelas identitasnya. Namun, umumnya dilakukan oleh relawan dan simpatisan peserta pemilu.
Padahal, jika hoaks diproduksi dan disebarkan oleh relawan dan simpatisan, maka yang bersangkutan tak dapat dikenai Undang-Undang Pemilu. Sebab, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 hanya mengatur larangan penyebaran hoaks oleh peserta, pelaksana, atau tim kampanye pemilu.
"Tapi kalau hoaks dan ujaran kebencian tersebut tersebar di media sosial, biasanya yang dipake adalah UU ITE. Jadi di UU Pemilu-nya lewat, UU yang lain diproses," ujar Afif.
Untuk menekan terjadinya kekerasan pemilu berupa hoaks, Afif mengimbau supaya elite parpol dan tim kampanye tidak berkampanye dengan hoaks. Timses diminta untuk ikut menjaga tahapan penyelenggaraan pemilu yang bersih dan kondusif.
"Kalau kemudian di narasinya para timses ini menyatakan bahwa jangan pakai hoaks tapi kemudian dia juga berkampanye dengan hoaks, ya percuma saja. Jadi sebagian sumbernya itu adalah dari masing-masing timses dan dampaknya untuk tidak menjadikan penyebaran berita bohong, itu sebagai strategi dalam kampanye," kata Afif. (Fitria Chusna Farisa)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News