Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) turut memanfaatkan kehadiran teknologi blockchain yang menjadi teknologi dasar beroperasinya bitcoin dan cryptocurrency lainnya. Melalui teknologi ini, tak menutup kemungkinan mata uang rupiah fisik yang diedarkan BI selama ini, berubah menjadi digital.
Asisten Deputi Direktur Eksekutif Departemen Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Susiati Dewi mengatakan, teknologi itu mulai diiujicobakan BI pada tahun ini. Tujuannya, untuk mengefisiensikan industri sistem pembayaran.
"Suatu saat mungkin saja uang fisik yang kami edarkan menjadi digital. Serang belum. Semua negara di dunia belum ada yang merilis," kata Susi kepada KONTAN, Jumat (26/1). Dengan demikian, virtual currency ini akan dijamin dan diakui oleh negara-negara lain.
Tak hanya itu, berbeda dengan virtual currency yang diterbitkan oleh sejumlah perusahaan, aset yang menjadi dasar transaksi virtual currency BI lebih jelas. Susi juga bilang, pola perhitungan peredarannya juga akan disesuaikan dengan kondisi saat ini, seperti halnya peredaran uang rupiah yang memperhitungkan inflasi yang terjadi.
Bank Sentral Singapura yang pertama kali menerapkan teknologi tersebut untuk sistem Real Time Gross Settlement-nya (RTGS). Sayangnya, "Mereka bilang teknologinya masih belum stabil," tambah Susi.
Teknologi blockchain sendiri rencananya akan diadopsi oleh bank sentral-bank sentral di dunia. Dengan demikian, bank sentral-bank sentral nantinya akan memiliki central bank virtual currency atau central bank digital currency.
Larang private virtual currency
Virtual currency sendiri saat ini memang baru diterbitkan oleh sejumlah swasta. BI mencatat, terdapat 1.490 virtual currency atau cryptocurrency yang berkembang hingga saat ini, termasuk Bitcoin.
Namun, BI melarang seluruh penggunaan cryptocurrency, baik sebagai alat transaksi maupun sebagai komoditas. Sebab, tidak ada pihak yang bertanggung jawab atas peredaran cryptocurrency, termasuk aset yang menjadi jaminannya.
Susi melanjutkan, penerbitan cryptocurrency selama ini dibatasi jumlahnya berdasarkan hasil konsensus dan kenaikan nilainya berdasarkan persepsi penggunanya sendiri. Namun, bukan tidak mungkin jumlah penerbitannya bertambah lantaran tidak jelas penjaminnya. Hal ini, akan merugikan masyarakat.
"Di suatu titik bisa dia tambahkan dan tidak ada yang ketahui siapa orang-orang di belakang itu karena sudah lintas negara," kata Susi.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, teknologi blockchain bukan merupakan sesuatu yang haram. Namun, virtual currency yang diterbitkan oleh swasta yang tidak diperbolehkan.
Lebih lanjut, menurutnya, jika penggunaan teknologi blockchain yang akan dimanafaatkan BI hingga bisa menerbitkan rupiah dalam bentuk digital, bank sentral perlu memperhatikan sejumlah hal. Misalnya, dampaknya terhadap ekonomi Indonesia.
"Penerbitannya apakah bisa meningkatkan inflasi atau bisa membuat ekonomi lebih efisien," kata Josua. Yang lebih penting lagi, BI perlu memperhatikan pengawasan peredarannya, keamanan peredarannya, hingga edukasi untuk masyarakat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News