Reporter: Handoyo, Margareta Engge Kharismawati | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Pemerintah mantap akan menetapkan pungutan atas ekspor minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya. Sesuai rencana, kebijakan itu akan diberlakukan pada pekan ini.
Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil bilang, setiap kegiatan ekspor CPO akan dipungut dana khusus sebesar US$50 per ton dan US$30 per ton untuk produk turunannya. Dengan adanya kebijakan ini, pemerintah bakal membebaskan bea keluar ekspor CPO yang harganya di bawah US$ 750 per ton.
Sofyan menegaskan, dasar dari kebijakan pungutan ekspor CPO ini adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Dalam UU Perkebunan disebutkan, untuk mendukung keberlanjutan perkebunan, maka dapat dikutip dana dari industri.
Selain itu, pemerintah juga telah mengkaji rumusan peraturan pemerintah (PP) terkait pungutan tersebut. "Pungutan akan berlaku setelah PP ditandatangani. Saya harapkan PP bisa ditandatangani pekan ini," kata Sofyan, Senin (6/4).
Kalkulasi pemerintah, dari pungutan ekspor CPO ini akan ada dana yang masuk sekitar Rp 5 triliun-Rp 7 triliun. Cuma, dana itu tidak masuk ke kas negara, tapi ke rekening badan khusus berbentuk Badan Layanan Umum (BLU). Tugas BLU mengumpulkan dan mengelola dana pungutan ini.
Adapun, pengelola badan tersebut adalah steering committee (SC) yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan menteri terkait seperti Menteri Keuangan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Pertanian. Selain itu, ada unsur pengawas dari pemerintah dan kalangan industri.
Sofyan menambahkan, dana pungutan ini setidaknya untuk mendukung dua hal. Pertama, untuk replanting atau penanaman kembali kebun CPO seluas 4 juta hektare (ha) yang tidak bisa ditanam kembali karena petani tidak mempunyai dana.
Kedua, riset dan pengembangan (R&D). Pemerintah ingin mendidik para petani agar bisa meningkatkan produktivitas sebagaimana layaknya usaha perkebunan.
Jika kebijakan ini berjalan mulus, pungutan serupa akan diterapkan pada komoditas perkebunan lainnya. Misalnya karet dan kopi. Persoalannya, saat ini harga karet di pasaran dunia sedang anjlok. "Kalau pungutan khusus untuk karet kita ambil dalam keadaan sekarang, ya, sulit. Kecuali, kita bisa menaikkan harga internasionalnya," imbuh Sofyan.
Pungutan terlalu tinggi
Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir menambahkan, untuk payung hukum pungutan CPO, pemerintah akan mengeluarkan dua aturan, yakni, PP dan Peraturan Presiden (Perpres). PP-nya dinamakan Perhimpunan Dana Perkebunan.
Namun, kalangan pelaku usaha belum satu suara merespons kebijakan pungutan ekspor CPO ini. Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia menyambut positif kebijakan ini karena dapat mengerek harga CPO di pasar dunia.
Malaysia telah memiliki lembaga serupa bernama Malaysian Palm Oil Board (MPOB) yang mengelola dana pungutan sawit dari eksportir dan produsen CPO. Tapi, Fadhil minta, besaran pungutan cuma US$ 25 per ton.
Derom Bangun, Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia menilai, kebijakan ini akan membebani para petani sawit. Sebab, dengan adanya pungutan khusus ini, maka para eksportir akan membebankan biayanya kepada pihak yang berada paling hulu, yakni petani.
Derom mencontohkan, saat ini harga CPO di pasaran internasional berada di kisaran Rp 7.300 per kilogram (kg). Kelak, dengan berlakunya pungutan ekspor, maka setiap 1 kg CPO yang dibeli dari petani bisa terpangkas Rp 650 per kg. Efek lainnya, dalam dua hingga tiga bulan ke depan harga CPO kembali terkerek.
Pungutan dana ekspor CPO sebesar US$ 50 per ton, juga terlalu tinggi. "Kami menghitung, paling tidak cukup sekitar US$ 40 per ton," katanya.
Bila pungutan ekspor CPO US$ 50 per ton, kata Derom, seharusnya minyak inti sawit atau Crude Palm Kernel Oil (CPKO) dikenakan lebih tinggi, semisal US$ 75 per ton. Pasalnya, kini harga CPKO lebih tinggi dari harga CPO.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News