Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Setelah Automatic Exchange of Information (AEoI), Organisasi Untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) akan mengadakan asesmen putaran kedua. OECD akan meminta beberapa negara untuk mengidentifikasi beneficial ownership dari semua entitas, perusahaan, lembaga dan lain-lain.
“Di asesmen sebelumnya, kami belum memasukkan beneficial ownership sebagai penilaian, tetapi di asesmen kedua, kami akan menyertakan itu. Indonesia akan di review di putaran berikutnya untuk memenuhi standar beneficial ownership itu,” kata Head of Global Forum on Transparency and Exchange of Information OECD Monica Bhatia saat ditemui usai menjadi pembicara di Konferensi Pajak Internasional, Kamis (13/7).
Namun demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa dalam penilaian terkait beneficial ownership itu, OECD menargetkan negara-negara tax haven. Meski begitu, pihaknya akan tetap meneliti bagaimana praktik perpajakan internasional.
“Sebetulnya beneficial ownership ini targetnya adalah tax haven. Indonesia saya rasa sekarang fokus untuk AEoI. Kami juga terus menjaga dan meneliti bagaimana kami bisa melindungi kepentingan negara agar potensi pajak didapat menjadi penerimaan dan tidak ada shifting,” katanya di Gedung DPR, Senin (24/7) malam.
Ia menjelaskan, dengan persetujuan internasional untuk mencegah base erosion and profit shifting (BEPS), AEoI dianggap sebagai salah satu yang perlu dipenuhi. Indonesia sendiri telah memiliki Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan yang telah diterima Komisi XI DPR sebagai perangkat hukum guna menjalankan AEoI.
“Namun setelah AEoI akan ketahuan bahwa banyak juga wajib pajak bisa menggunakan proxy. Oleh karena itu, pertukaran informasi kemudian akan menggambarkan, dan ini yang dimunculkan banyak negara-negara, terutama justru negara maju karena mereka melihat banyak sekali taxpayer-nya menyembunyikan apa yang disebut the ultimate beneficiary ownership dari account ataupun dari kegiatan-kegiatan ekonomi,” jelasnya.
Menurut dia, pada prinsipnya, secara dunia semangatnya adalah semakin hari praktik bisnis yang makin transparan dan berdasarkan tata kelola yang baik ingin ditegakkan secara konsisten di semua jurisdiksi.
“Kalau dulu kan katakanlah, di Swedia dan lain-lain, mereka ingin anti-corruption, tetapi di negaranya saja, di negara lain ya terserah saja sehingga banyak yang disebut tax haven, atau jurisdiksi yang jadi tempat mengumpulkan uang-uang haram,” ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News