kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.980.000   15.000   0,76%
  • USD/IDR 16.810   20,00   0,12%
  • IDX 6.446   7,70   0,12%
  • KOMPAS100 927   0,91   0,10%
  • LQ45 722   -0,90   -0,12%
  • ISSI 206   1,64   0,80%
  • IDX30 375   -0,74   -0,20%
  • IDXHIDIV20 453   -1,23   -0,27%
  • IDX80 105   0,08   0,08%
  • IDXV30 111   0,28   0,25%
  • IDXQ30 123   -0,06   -0,05%

AS Intervensi Sistem Pembayaran, Keamanan dan Kepentingan Nasional Bisa Terganggu


Senin, 21 April 2025 / 15:50 WIB
AS Intervensi Sistem Pembayaran, Keamanan dan Kepentingan Nasional Bisa Terganggu
ILUSTRASI. Bank Mandiri rilis QRIS Tap di Livin' by Mandiri sejalan dengan upaya Bank Indonesia untuk meningkatkan inklusi keuangan dan semakin mempermudah transaksi digital di masyarakat.


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Putri Werdiningsih

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Intervensi pemerintah Amerika Serikat (AS) terkait kritik atas kebijakan sistem pembiayaan Indonesia seperti QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) bisa menganggu keamanan transaksi warga negara Indonesia dan menganggu kepentingan nasional.

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan, kritik utama AS memang berkisar pada ketidakikutsertaan perusahaan asing, terutama dari Negeri Paman Sam tersebut dalam proses pengembangan kebijakan sistem pembayaran tersebut. Namun, di balik protes AS, Indonesia memiliki alasan kuat untuk mempertahankan QRIS dan GPN sebagai bagian dari strategi kedaulatan ekonomi, keamanan data, dan inklusi keuangan. 

Baca Juga: Visa-Mastercard Terjepit Aturan GPN dan QRIS, AS Soroti Hambatan Dagang

Menurut Achmad, isu ini bukan hanya soal tata kelola regulasi, tapi menyentuh isu strategis yang lebih dalam kedaulatan ekonomi, keamanan data, efisiensi biaya, dan inklusi keuangan sebagai fondasi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

"Bayangkan jika sistem QRIS dioperasikan oleh perusahaan asing, data transaksi ratusan juta orang Indonesia bisa terekam di server luar negeri, rentan terhadap pengawasan pemerintah asing atau kebocoran yang merugikan konsumen," terang Achmad dikutip Senin (21/4).

Bagi AS yang rumah bagi raksasa fintech seperti PayPal, Stripe, dan Visa, kebijakan Indonesia dianggap menghambat ekspansi bisnis mereka. Namun, Indonesia harus memprioritaskan kepentingan 277 juta warganya. Liberalisasi sektor pembayaran tanpa filter bisa mematikan startup fintech lokal yang belum siap bersaing dengan perusahaan multinasional. 

Baca Juga: Dituding Jadi Hambatan Perdagangan, Nasib QRIS dan GPN di Tangan Negosiator

Begitu juga dengan kritik AS terhadap GPN yang mewajibkan transaksi kartu debit/kredit diproses melalui gateway lokal juga perlu dilihat dari perspektif sejarah. Sebelum GPN, sekitar 90% transaksi kartu di Indonesia dikuasai jaringan internasional seperti Visa dan Mastercard, dengan biaya switching yang tinggi. GPN hadir untuk menekan biaya tersebut sekaligus mengurangi ketergantungan pada sistem luar. 

"Tujuannya jelas, menyatukan fragmentasi sistem pembayaran digital, menekan biaya transaksi, dan memperluas akses keuangan bagi UMKM serta masyarakat pedesaan. Namun, AS melihat kebijakan ini sebagai bentuk proteksionisme yang menghambat integrasi dengan sistem global," ungkap Achmad.

Di sisi lain, dengan maraknya ancaman cybercrime dan potensi penyalahgunaan data oleh korporasi asing, kontrol penuh atas infrastruktur pembayaran adalah langkah defensif yang rasional.

Selanjutnya: Vatikan: Upacara Pemakaman Paus Fransiskus Akan Dilakukan Secara Sederhana

Menarik Dibaca: Paus Fransiskus Meninggal Dunia di Vatikan di Usia 88

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×