Reporter: Lamgiat Siringoringo | Editor: Lamgiat Siringoringo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konflik di Pulau Rempang, Batam menyisakan duka. Presiden Joko Widodo menyebutkan bentrokan di Pulau Rempang karena komunikasi yang kurang baik antara masyarakat dengan lembaga pemerintahaan. Menurutnya sudah ada kesepakatan jika masyarakat akan diberi lahan 500 meter dan bangunan tipe 45.
Presiden pun memerintahkan agar ada komunikasi yang baik dengan warga setempat. Sebagai salah satu unsur di wilayah Rempang, Kepala Kejaksaan Negeri Batam Herlina Setyorini mengatakan pihaknya sebagai instansi penegak hukum siap menjembatani komunikasi antara pemangku kebijakan dan masyarakat setempat terkait permasalahan yang terjadi di Pulau Rempang.
"Kejaksaan Negeri Batam khususnya Bidang Datun menyediakan diri sebagai penyambung komunikasi antara para pemangku kebijakan dengan masyarakat dan sebaliknya," ujar Herlina, dalam keterangannya.
Ia mengaku sangat prihatin atas kondisi yang terjadi di Batam. Namun senada dengan pernyataan Presiden dirinya pun meyakini bahwa inti permasalahannya adalah komunikasi yang tidak terjalin dengan baik.
"Untuk itu, kami mohon semua pihak dapat menahan diri untuk tidak memperkeruh suasana dengan memberikan komentar-komentar yang dapat memicu kemarahan masyarakat. Mari kita jaga kota Batam yang tercinta ini agar tetap tenang dan nyaman," ujarnya.
Pakar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing menilai tak hanya komunikasi yang bisa dijadikan solusi dari penyelesaian masalah Pulau Rempang. "Bukan hanya diselesaikan hanya dengan komunikasi, tetapi persoalan-persoalan lain harus didudukkan, persoalan hukum, persoalan ketidakadilan, persoalan katakanlah ekonomi. Meski masalah Rempang mungkin complicated tetapi saya yakin penyelesaiannya dapat dilakukan dengan komunikasi," kata Emrus.
Lalu komunikasi seperti apa yang seharusnya dilakukan dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat, agar dapat mencegah gesekan antara masyarakat tidak terjadi?
"Saya melihat proyek Rempang ini tidak dimulai dengan komunikasi yang strategis, efektif, persuasif dan partisipatif. jadi saya melihat di awal tidak dilakukan ini, sehingga menimbulkan persoalan. Coba saja semuanya dimulai dengan komunikasi misalnya berdialog, diskusi dan mendengar. Mendengar merepukan salah satu skill komunikasi, para pengambil kebijakan sudahkah mendengar, menyimak, mengajak masyarakat diskusi? sudah ada belum titik temu?," katanya lagi.
Jika hal tersebut sudah dilakukan, lanjutnya, barulah dimulai proyek pembangunan. Untuk itu, perlu dimulai dengan komunikasi yang maksimal agar semua masyarakat dapat memahami dengan baik, jika sudah menerima dengan baik bahwa mereka akan diganti untung, bukan ganti rugi dan siapa saja yang berhak mendapatkan penggantian tersebut, semuanya harus jelas. "Artinya masyarakat itu harus diletakkan sebagai subjek pembangunan. Untuk itu pemerintah, perusahaan, penegak hukum perlu duduk bersama membahas persoalan ekonomi, keadilan, aspek hukum dan komunikasi untuk dibahas bersama, bagaimana kewilayahannya, budaya setempat, dan lain-lain sehingga terjadilah dialog dan menghasilkan kesepakatan," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News