Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya pemerintah mengatasi persoalan kemiskinan membuahkan hasil. Untuk pertama kalinya, persentase kemiskinan Indonesia turun, bahkan mencapai angka satu digit. Hanya, upaya pengentasan kemiskinan masih menyisakan pekerjaan rumah (PR), yakni ketimpangan ekonomi di pedesaan dan perkotaan yang melebar.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, persentase kemiskinan di Indonesia pada Maret 2018 hanya 9,82%. Angka itu turun dibandingkan Maret 2017 dan September 2017 yang masing-masing sebesar 10,64% dan 10,12%.
Pada periode sama, jumlah penduduk miskin juga berkurang menjadi 25,95 juta penduduk, dibanding jumlah penduduk miskin pada Maret 2017 sebesar 27,77 juta, dan September 2017 yang sebanyak 26,58 juta penduduk.
Tak hanya itu, indeks kedalaman kemiskinan juga mengalami penurunan menjadi 1,71 pada Maret 2018, dibandingkan September 2017 yang sebesar 1,79. Indeks keparahan kemiskinan melorot menjadi 0,44, dibandingkan September 2017 yang sebesar 0,46.
Lalu, tingkat ketimpangan di Indonesia yang diukur menggunakan rasio gini (gini ratio) pada Maret 2018 turun menjadi 0,389. Angka rasio gini ini merupakan posisi terendah sejak September 2011. Ini berarti tingkat ketimpangan antar penduduk menurun.
Walau jumlah penduduk miskin berkurang, Kepala BPS Suhariyanto mengingatkan masih banyak pekerjaan rumah terkait pengentasan kemiskinan. Utamanya, penurunan persentase penduduk miskin yang lambat pada dua tahun belakangan. Selain itu, jumlah penduduk miskin juga terbilang masih besar.
Belum lagi, masih ada disparitas kemiskinan yang tinggi antara di kawasan pedesaan dengan di kawasan perkotaan. Persentase penduduk miskin di pedesaan pada Maret 2018 mencapai 13,2%, hampir dua kali lipat dibanding di perkotaan yang mencapai 7,02%.
Rasio gini di pedesaan juga u naik menjadi 0,324, dari Maret 2017 dan September 2017 0,32. Sedangkan rasio gini di perkotaan turun menjadi 0,401, terendah sejak September 2018. "Kita punya banyak PR bagaimana supaya kebijakannya tepat sasaran," jelas Suhariyanto saat paparan data kemiskinan, Senin (16/7).
Perlu evaluasi
Benar, pemerintah memang harus mengevaluasi kebijakan pengentasan kemiskinan di desa-desa. Pasalnya, belanja sosial selalu meningkat setiap tahun, namun tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan. Anggaran belanja sosial semisal, tahun ini, juga mencapai Rp 162,56 triliun, naik hampir 3% dari 2017 yang hanya Rp 157,84 triliun.
Anggaran negara ke desa-desa juga bertambah. Dua tahun terakhir, anggaran Dana Desa mencapai Rp 60 triliun per tahun. Jumlah itu naik signifikan dibanding saat Dana Desa pertama kali diluncurkan tahun 2015 yang sebesar Rp 20,77 triliun dan tahun 2016 sebesar Rp 46,68 triliun.
Jika program tersebut tepat sasaran, harusnya pengentasan kemiskinan bisa berkurang signifikan. Pasalnya, setiap desa mendapat anggaran sekitar Rp 800 juta per tahun.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro membantah lambatnya pengentasan kemiskinan. "Justru percepatan penurunan kemiskinan terjadi dalam dua tahun terakhir. Jumlah orang miskin berkurang 1,5 juta per tahun," terang Bambang.
Sedangkan pelebaran gini ratio di pedesaan karena konsumsi per kapita 20% masyarakat kelompok teratas naik lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Kenaikan harga komoditas seperti kelapa sawit dan batubara mendorong konsumsi masyarakat atas.
Meski demikian, Bambang sepakat kebijakan pengentasan kemiskinan di desa perlu pembenahan agar tepat sasaran. Kuncinya adalah penguatan bantuan yang tepat sasaran. Bantuan akan tetap disalurkan melalui program keluarga harapan (PKH), bantuan pangan non tunai (BPNT), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS).
"Target (penerima bantuan) perlu diperluas. Kemudian didukung kemitraan baik bersama pengusaha besar maupun kecil untuk mempercepat persoalan kemiskinan yang berada di sekitar tempat usaha," jelas Bambang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News