Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Anggota Komisi III DPR RI Masinton Pasaribu mempertanyakan langkah Badan Reserse Kriminal Polri yang memeriksa mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani di Kantor Kementerian Keuangan. Menurut dia, Bareskrim sudah berlaku tidak adil karena memperlakukan Sri Mulyani secara berbeda dari warga negara lainnya.
"Harusnya biar adil dipanggil saja ke Mabes Polri. Diperiksa di Mabes Polri. Jangan diberikan perlakuan yang berbeda," kata Masinton di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (8/5).
Apalagi, lanjut Masinton, Sri Mulyani saat ini sudah tidak menyandang jabatan apapun di Kementerian Keuangan. Dia tidak melihat urgensi Sri harus diperiksa di bekas kantornya itu. "Seharusnya tidak ada privilege atau perlakuan istimewa dari Mabes Polri," ujar politisi PDI-P itu.
Hal serupa disampaikan Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa. Desmond mengatakan, di mata hukum, semua warga negara adalah sama. "Apa hebatnya Sri Mulyani di mata hukum?" tanya Desmond.
Kendati demikian, politisi Partai Gerindra itu memaklumi jika memang ada sejumlah dokumen terkait materi pemeriksaan yang tidak bisa dibawa keluar dari Kantor Kemenkeu. "Kalau dokumen itu rahasia perbankan memang tidak bisa sembarangan dibawa keluar," ucap Desmond.
Kasus kondensat
Sri diperiksa sebagai saksi atas perkara dugaan korupsi melalui penjualan kondensat yang melibatkan PT PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (PT TPPI), Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas atau yang dahulu bernama BP Migas dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Pemeriksaan terhadap Sri Mulyani, lanjut Victor, yakni soal surat persetujuan tata cara pembayaran kondensat yang dikelola BP Migas untuk diolah oleh PT TPPI.
"Kami memeriksa dia karena menyetujui skema pembayaran. Skema pembayaran seharusnya ada kontrak kerja. Nah, ini tidak. Kami ingin bertanya soal itu," ujar Victor.
Bareskrim tengah mengusut perkara dugaan korupsi lewat penjualan kondensat. Korupsi itu melibatkan PT TPPI, SKK Migas, dan Kementerian ESDM. Penyidik menemukan sejumlah dugaan tindak pidana.
Pertama, yakni penunjukan langsung PT TPPI oleh SKK Migas untuk menjual kondensat. Kedua, PT TPPI telah melanggar kebijakan wakil presiden untuk menjual kondensat ke Pertamina. PT TPPI malah menjualnya ke perusahaan lain.
Penyidik juga menemukan bahwa meskipun kontrak kerja sama SKK Migas dengan PT TPPI ditandatangani pada Maret 2009, tetapi PT TPPI sudah menerima kondensat dari BP Migas sejak Januari 2009 untuk dijual.
Selain itu, PT TPPI juga diduga tidak menyerahkan hasil penjualan kondensat ke kas negara. Penyidik telah mengantongi kalkulasi dari Badan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait kerugian negara akibat dugaan korupsi itu, yakni mencapai 139 juta dollar AS. Penyidik telah berkoordinasi dengan PPATK untuk menelusuri aliran dana itu.
Hingga saat ini penyidik sudah memeriksa 30 saksi, baik dari pihak SKK Migas, PT TPPI, maupun Kementerian ESDM. Belakangan, penyidik telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yakni DH, RP, dan HW. Dari ketiga itu, hanya HW yang belum diperiksa lantaran berada di Singapura mengaku sakit. (Ihsanuddin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News