Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Pengamat Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Anggito Abimanyu mengatakan, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebaiknya hanya sebesar Rp 1.000. Pasalnya, kenaikan tersebut bukan ditujukan untuk menambal kekurangan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), melainkan hanya untuk menanggulangi masalah BBM.
Karena itu, wacana kenaikan harga BBM yang mencapai Rp 1.500, akan cukup signifikan pengaruhnya dalam pemberian bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM), yang merupakan pengganti bantuan langsung tunai (BLT). Karena itu, menurut Anggito, penaikan harga BBM bersubsidi ini hendaknya jangan terlalu tinggi, untuk tujuan penambalan APBN yang disebabkan penurunan sektor lain.
"Jangan sampai kenaikan harga BBM yang terlalu tinggi untuk menutup anggaran pendapatan maupun belanja sektor lain. Jangan dibebankan kepada BBM saja," tutur Anggito seusai rapat dengar pendapat umum dengan Badan Anggaran DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (12/3).
Ia menambahkan, jika hanya terkait persoalan mengenai BBM, pemerintah dapat menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 600. Karena itu, opsi kenaikan BBM bersubsidi yang mencapai Rp 1.500 ini adalah imbas dari tarif dasar listrik yang dibebankan kepada BBM. "Kenaikan tinggi karena nombok harga listrik," tandas mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan.
Karena itu, Anggito memperkirakan kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 1.500 ini akan berdampak naiknya inflasi sebesar 2%. Anggito menambahkan, kenaikan ini setidaknya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dalam satu kuartal. "Kalau kenaikannya Rp 1.000, maka inflasinya dibawah 2%. Pertumbuhan ekonomi mungkin akan terganggu selama satu kuartal," papar Anggito.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News