Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan, Kamis besok (11/12). Para ekonom sepakat, bank sentral tak perlu memperketat lagi kebijakan moneter yang sudah ketat sekarang ini. Suku bunga atau BI rate lebih baik tetap 7,75% agar perekonomian tak semakin melambat.
Kepala Ekonom Bank Internasional Indonesia (BII) Juniman mengatakan, maksud BI menaikkan suku bunga dari 7,5% menjadi 7,75% pada November lalu adalah untuk mengatasi inflasi yang melambung akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Memang, lonjakan inflasi itu akan terjadi hingga beberapa bulan mendatang, tapi suku bunga yang sekarang sudah cukup untuk mengeremnya.
Juniman menghitung, inflasi hingga akhir tahun akan di kisaran 7,4%-7,8%. Artinya, suku bunga acuan sekarang sebesar 7,75% masih sesuai dengan besaran inflasi. "Saya kira BI akan bijaksana untuk menahan BI rate," ujar Juniman, Selasa (9/10).
Juniman khawatir, kalau BI menaikkan suku bunga, maka keadaan ekonomi Indonesia akan semakin tertekan. Pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa di bawah 5%, melambat dari tahun 2013 yang mencapai 5,78%.
Ekonom Standard Chartered Eric Sugandhi, menambahkan, perubahan BI rate dilakukan untuk mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Bulan lalu, kenaikan BI rate ke level 7,75% bertujuan untuk menjaga agar investor asing tetap berada di Indonesia serta agar nilai tukar rupiah tak melemah. Hasilnya, pelemahan nilai tukar rupiah tak terlalu besar dan dana asing tetap masuk.
Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat dana asing di surat berharga negara (SBN) hingga 8 Desember 2014 mencapai Rp 475,86 triliun atau 39,02% dari total SBN yang diperdagangkan. Sebulan sebelumnya, dana asing di SBN Rp 462,34 triliun atau 37,87%. Maka dari itu, Eric perkirakan BI akan tetap mempertahankan suku bunga acuan di level 7,75%.
Hingga akhir tahun, Ia memperkirakan rupiah akan berada pada kisaran Rp 12.200 per dolar AS. Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menambahkan kebijakan moneter ketat saat ini sudah cukup untuk menurunkan defisit neraca transaksi berjalan tahun ini menjadi 2,9% dari PDB. Tahun lalu, defisit transaksi berjalan mencapai 3,33% dari PDB atau US$ 29,1 miliar.
Perkiraan David, BI rate baru akan naik jika bank sentral AS Federal Reserve menaikkan suku bunganya. Langkah ini dilakukan BI untuk menarik investasi portofolio. "Ini kalau investasi langsung masih minim tahun depan," tandas David.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News