Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Lonjakan Belanja Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN) dalam Rancangan Anggaran pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 menuai sorotan lantaran pengalokasian anggaran tersebut bersifat tertutup.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef M. Rizal Taufikurahman menilai, kenaikan alokasi BA BUN dari Rp 358 triliun pada 2025 menjadi Rp 525 triliun dalam RAPBN 2026 berkaitan dengan akuntabilitas pengelolaan anggaran negara.
Rizal juga menyoroti sumber utama kenaikan tersebut sebagaian besar berasal dari pengalihan sebagian dana Transfer ke Daerah (TKD) yang justru dipangkas cukup besar. Pemerintah menurunkan TKD hingga 24,7% dalam RAPBN 2026 menjadi Rp 650 triliun, atau turun dari Rp 864,1 triliun pada outlook TKD 2025.
“Lonjakan BA BUN menimbulkan pertanyaan serius mengenai transparansi dan akuntabilitas, karena tidak ada rincian alokasi yang harus melalui persetujuan DPR,” kat Rizal kepada Kontan, Senin (25/8/2025).
Baca Juga: DPR Minta Menkeu Transparan Soal Penggunaan Anggaran BA BUN Rp 525 Triliun
Rizal membeberkan, secara struktur APBN, BA BUN biasanya digunakan untuk kebutuhan cadangan, subsidi, belanja lain-lain, hingga kewajiban kontinjensi. Karena itu, kenaikan signifikan menimbulkan tanda tanya terkait akuntabilitas serta mekanisme pengawasan yang lemah.
Rizal menyebut, DPR selama ini hanya mengesahkan pagu total, sementara eksekusi sepenuhnya berada di bawah kewenangan Kementerian Keuangan. Kondisi ini membuat mekanisme pemeriksaan dan keseimbangan menjadi lemah, sebab DPR maupun publik tidak bisa mengakses detail peruntukan sebelum eksekusi.
Masalah utama, menurut Rizal, terletak pada minimnya transparansi baik dalam tahap perencanaan maupun pelaksanaan. Jarang ada laporan outcome yang dapat diaudit secara memadai, sehingga ruang diskresi eksekutif sangat besar.
Rizal khawatir BA BUN berpotensi menjadi ‘pos gelap’ dalam APBN yang meskipun sah secara hukum, dan rentan digunakan untuk mendukung kebijakan politik tertentu atau menutup kekurangan anggaran di pos lain.
“Situasi ini menimbulkan risiko moral hazard fiskal karena penggunaan BA BUN bisa menyimpang dari prioritas pembangunan jangka panjang dan cenderung diarahkan pada kepentingan jangka pendek,” ungkapnya.
Implikasi lainnya adalah bergesernya pola tata kelola fiskal dari mekanisme yang lebih transparan dan berbasis formula TKD ke mekanisme yang sangat discretionary yakni BA BUN).
Rizal menjelaskan, dari sisi pemerintah pusat, hal ini memang memberi ruang kendali fiskal yang lebih fleksibel. Akan tetapi, dari sisi demokrasi fiskal, konsentrasi dana besar dalam BA BUN justru melemahkan prinsip akuntabilitas, mengurangi otonomi daerah, serta berpotensi mengurangi keterlibatan DPR dalam mengawasi pengeluaran negara.
Dalam konteks ruang fiskal yang terbatas, meningkatnya BA BUN dinilai menimbulkan dilema karena bisa menjadi instrumen politik sekaligus membebani disiplin anggaran.
Baca Juga: Alokasi Bagian Anggaran Bendahara Negara Naik, DPR Minta Sri Mulyani Transparan
Dengan demikian, Rizal menambahkan, meskipun peningkatan BA BUN tidak otomatis menunjukkan adanya penyalahgunaan makna regulasi, yakni dimana indikasi ketidaksesuaian dengan prinsip good governance tetap kuat.
Menurutnya, potensi penyalahgunaan di sini lebih kepada penggunaan anggaran yang tidak sesuai dengan prioritas pembangunan, lemahnya transparansi publik, serta terbatasnya ruang kontrol dari DPR.
“Untuk mengurangi risiko tersebut, pemerintah sebaiknya menerapkan mekanisme pelaporan periodik yang terbuka kepada DPR dan publik, memperkuat peran BPK dalam melakukan audit berbasis outcome, serta membatasi proporsi,” tandasnya.
Selanjutnya: Mengenal LPDP: Tujuan, Jenis Beasiswa, dan Persyaratannya
Menarik Dibaca: Inilah Daftar Minuman yang Paling Banyak Mengandung Mikroplastik Menurut Riset
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News