Reporter: Asnil Bambani Amri | Editor: Asnil Amri
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia (AMKRI) menyatakan kekecewaan mendalam terhadap keputusan Menteri Keuangan yang memilih tidak menaikkan cukai rokok tahun depan. Selain itu, AMKRI juga kecewa menyaksikan Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa justru melakukan kunjungan ke industri rokok.
AMKRI menilai, sikap dari Purbaya itu sebagai bentuk keberpihakan yang keliru, dan tidak peka terhadap penderitaan jutaan masyarakat korban produk tembakau. Ketua AMKRI, Helena Liswardi, menegaskan bahwa langkah Menteri Keuangan mencerminkan sikap yang lebih melindungi kepentingan industri ketimbang kesehatan publik.
Jika Purbaya berkunjung ke industri rokok, Helena menantang Purbaya untuk mengunjungi bangsal-bangsal rumah sakit, khususnya bangsal kanker paru, jantung dan stroke. “Kami para korban rokok ingin bertanya, setelah melihat industri rokok dan keuntungan besar para pengusaha tembakau, apakah Pak Menteri juga berani mengunjungi bangsal-bangsal rumah sakit yang penuh pasien kanker paru, jantung, dan stroke akibat rokok?” ujar Helena dalam siaran pers, Jumat (10/10).
Baca Juga: Purbaya Tak Akan Toleransi Pegawai Pajak dan Bea Cukai yang Fraud
Helena menilai, keputusan yang diambil Purbaya untuk tidak menaikkan cukai, berarti mengabaikan tanggung jawab moral dan ekonomi negara terhadap rakyatnya. Padahal, beban biaya kesehatan akibat penyakit terkait rokok terus meningkat tajam.
Data CISDI (2021) menunjukkan, biaya kesehatan akibat rokok di Indonesia mencapai Rp27,7 triliun pada 2019, lebih tinggi dibandingkan estimasi 2015. Kondisi ini turut menyumbang defisit BPJS Kesehatan sebesar Rp17 triliun pada tahun yang sama, sementara total kerugian makro ekonomi akibat konsumsi rokok mencapai Rp410 triliun atau dua kali lipat dari penerimaan negara melalui cukai.
Salah satu penyintas yang tergabung dalam AMKRI, Daniel Baten, telah membagikan kisah pilunya. Ia harus menjalani operasi pengangkatan laring setelah bertahun-tahun menjadi perokok aktif. “Operasi itu merenggut suara normal saya dan membuat hidup saya dipenuhi tantangan baru. Ini bukan hanya tentang kehilangan uang, tapi kehilangan kualitas hidup,” ujar Daniel.
Pasca operasi laring, Daniel kini hidup dengan beragam kesulitan. “Lubang di leher yang tersisa menuntut perhatian ekstra. Sedikit udara dingin saja bisa membuat saya batuk atau flu. Saya harus selalu waspada agar udara kotor tak masuk ke lubang pernapasan,” kata Daniel.
Baca Juga: Menkeu Purbaya Buka Opsi Bubarkan Satgas BLBI, Ada Apa?
Sama dengan Helena, Daniel juga menilai, kunjungan Menteri Keuangan ke pabrik rokok tidak seharusnya dijadikan pembenaran untuk melindungi kepentingan industri. “Ketika Anda (Purbaya) memilih tidak menaikkan cukai dan malah berkunjung ke pabriknya, apakah Anda benar-benar memahami penderitaan kami? Kesehatan rakyat jauh lebih berharga daripada keuntungan industri rokok,” ujarnya dengan suara parau.
Untuk itu, AMKRI menyatakan sikap dengan menyerukan tiga tuntutan kepada pemerintah. Pertama, meninjau ulang keputusan untuk tidak menaikkan cukai rokok, dan segera menetapkan kenaikan signifikan sesuai rekomendasi kesehatan publik. Kedua, memastikan keberpihakan kebijakan fiskal pada korban dan kesehatan masyarakat, bukan pada industri tembakau.
Ketiga, mengajak masyarakat sipil dan media untuk terus mengawal transparansi kebijakan cukai dan dampaknya terhadap kesehatan rakyat. Helena menambahkan, keputusan mempertahankan tarif cukai bukan hanya keliru secara ekonomi, tetapi juga berbahaya secara moral. “Ketika industri rokok dilindungi, rakyatlah yang menjadi korban dan jatuh sakit, miskin, dan meninggal lebih cepat,” katanya.
Menurut AMKRI, pemerintah seharusnya berpihak pada rakyat, bukan pada industri yang selama ini menjadi sumber penyakit dan kemiskinan struktural di negeri ini.
Selanjutnya: Efek Tarif Trump, Margin Laba Levi's Dipangkas
Menarik Dibaca: Kini Sampah Besar di Jakarta Bisa Diangkut dan Dilacak Lewat Situs DLH DKI
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News