Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aliansi Ekonom Indonesia yang mewakili 384 ekonom menyampaikan tujuh desakan darurat ekonomi kepada pemerintah.
Desakan itu dinilai penting agar reformasi kebijakan ekonomi segera dilakukan demi menjamin pertumbuhan yang inklusif, penciptaan lapangan kerja berkualitas, dan kehidupan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia.
Aliansi ekonom menilai berbagai program populis dan intervensi politik pada lembaga negara berpotensi melemahkan fondasi ekonomi nasional. Karena itu, tujuh desakan darurat diajukan sebagai upaya koreksi dan reformasi kebijakan.
Ekonom sekaligus Sekretaris Jenderal Asosiasi Ekonomi Internasional (International Economic Association/IEA) Lili Yan Ing membuka forum dengan menegaskan usulan tersebut berbasis data dan analisis. “Perlu kami tegaskan bahwa apa yang kami sampaikan pada hari ini adalah berdasarkan data, fakta, dan analisa,” ujarnya dalam keterangan pers, Selasa (9/9/2025).
Baca Juga: Sri Mulyani Lengser, Purbaya Hadapi Tantangan Baru Ekonomi Global
Aliansi ekonom juga menyampaikan walau ada tekanan dari guncangan global, kondisi di Indonesia tidak terjadi tiba-tiba. Situasi ini merupakan akumulasi dari praktik bernegara yang kurang amanah dan kebijakan yang tidak tepat, sehingga memicu ketidakadilan sosial.
Salah satunya terlihat dari kualitas pertumbuhan ekonomi yang menurun dan jauh dari inklusif, sehingga manfaatnya tidak dirasakan masyarakat banyak.
Berikut adalah tujuh desakan darurat ekonomi dari Aliansi Ekonom Indonesia:
1. Perbaiki secara menyeluruh misalokasi anggaran yang terjadi dan tempatkan anggaran pada kebijakan dan program secara wajar dan proporsional.
Ekonom menekankan perlunya perbaikan menyeluruh dalam alokasi APBN. Belanja untuk program populis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), hilirisasi, Koperasi Desa Merah Putih, subsidi energi, sekolah rakyat, dan program tiga juta rumah, dinilai terlalu besar dan perlu dikurangi porsi belanjanya secara signifikan.
Alokasi untuk program populis pada 2026 mencapai Rp 1.414 triliun atau 37,4% dari total belanja APBN.
Kebijakan pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) sebesar 5,6% pada APBN 2025 dan usulan penurunan 24,8% di RAPBN 2026 juga dikritik karena berpotensi membebani pemerintah daerah.
Aliansi juga menilai alokasi MBG sebesar Rp 171 triliun (2025) dan Rp 335 triliun (2026) tidak realistis, hampir 44% dari anggaran pendidikan. Dana sebaiknya dialihkan untuk kesehatan dasar, kesejahteraan tenaga medis, kualitas pendidikan dan tenaga pendidik, serta kebutuhan dasar rumah tangga miskin seperti air bersih dan listrik.
Baca Juga: Gantikan Sri Mulyani Jadi Menkeu, Purbaya: 2-3 Bulan Lagi Ekonomi Akan Cerah
2. Kembalikan independensi, transparansi, dan pastikan tidak ada intervensi berdasarkan kepentingan pihak tertentu pada berbagai institusi penyelenggara negara (Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pemeriksa Keuangan, Kejaksaan), serta kembalikan penyelenggara negara pada marwah dan fungsi seperti seharusnya.
Aliansi ekonom meminta agar institusi penyelenggara negara seperti Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kejaksaan bebas dari intervensi kepentingan.
KPK dinilai kehilangan independensi sejak UU No.19/2019. BI juga diminta kembali fokus pada menjaga stabilitas moneter, bukan membiayai proyek politik.
BPS harus transparan dalam metodologi dan penyajian data, sementara DPR perlu menghadirkan oposisi untuk menjaga mekanisme check and balance. MA, MK, dan Kejaksaan juga didesak kembali pada fungsi konstitusionalnya.
3. Hentikan dominasi negara yang berisiko melemahkan aktivitas perekonomian lokal, termasuk pelibatan Danantara, BUMN, TNI, dan Polri sebagai penyelenggara yang dominan sehingga membuat pasar tidak kompetitif dan dapat menyingkirkan lapangan kerja lokal, ekosistem UMKM, sektor swasta, serta modal sosial masyarakat.
Aliansi Ekonom Indonesia juga menolak pembentukan super holding Danantara dengan anggaran Rp 300 triliun yang dinilai menambah birokrasi baru di tengah rasio utang yang meningkat. Penugasan TNI/Polri di ranah sipil (termasuk pangan dan perlindungan sosial) juga ditolak karena berpotensi menggeser peran swasta dan usaha lokal.
Koperasi Desa Merah Putih dengan modal besar dari APBN dinilai berisiko mematikan BUMDes dan usaha lokal. Aliansi mengingatkan kegagalan KUD di masa lalu akibat pendekatan top-down seagaimana pada masa Orde Baru.
Baca Juga: Menkeu Baru Purbaya: Pertumbuhan Ekonomi RI 8% Bukan Mustahil
4. Deregulasi kebijakan, perizinan, lisensi dan penyederhanaan birokrasi yang menghambat terciptanya iklim usaha dan investasi yang kondusif
Aliansi ekonom mendorong deregulasi kebijakan dan perizinan. Kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang terlalu kaku dinilai menurunkan daya saing. Kuota impor komoditas strategis juga disebut menciptakan monopoli, rente, dan praktik mafia.
Reformasi menyeluruh proses perizinan usaha juga diminta untuk mengurangi inefisiensi dan potensi korupsi. World Bank (2024) mencatat pendaftaran perusahaan asing baru di Indonesia butuh 65 hari, jauh lebih lama dari negara lain.
5. Prioritaskan kebijakan yang menangani ketimpangan dalam berbagai dimensi.
Aliansi ekonom menekankan reformasi program bantuan sosial, termasuk mengembalikan PKH (Program Keluarga Harapan) sebagai bantuan tunai bersyarat dan mengintegrasikan dengan PIP (Program Indonesia Pintar). Program sosial harus adaptif terhadap krisis dan diperluas untuk lansia, disabilitas, serta kelompok rentan.
Aliansi ekonom juga mendorong penciptaan lapangan kerja formal, pemberdayaan UMKM, dan reformasi subsidi energi agar lebih tepat sasaran. Stabilitas harga pangan dinilai krusial karena sebagian besar penduduk hidup sedikit di atas garis kemiskinan.
6. Kembalikan kebijakan berbasis bukti dan proses teknokratis dalam pengambilan kebijakan serta berantas program populis yang mengganggu kestabilan dan prudensi fiskal (seperti Makan Bergizi Gratis, Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, sekolah rakyat, hilirisasi, subsidi dan kompensasi energi, dan Danantara).
Aliansi ekonom menolak kebijakan populis tanpa kajian, seperti MBG, Koperasi Desa Merah Putih, hilirisasi, subsidi energi, dan Danantara. Setiap program baru sebaiknya melalui uji coba (piloting), studi kelayakan independen, serta evaluasi transparan.
Pengambilan kebijakan harus berbasis bukti kuantitatif, disertai pemantauan berkala untuk memastikan keberlanjutan fiskal.
Baca Juga: Ekonom Sebut Purbaya Hadapi Lima Tugas Berat sebagai Menkeu Baru Prabowo
7. Tingkatkan kualitas institusi, bangun kepercayaan publik, dan sehatkan tata kelola penyelenggara negara serta demokrasi, termasuk memberantas konflik kepentingan maupun perburuan rente.
Aliansi ekonom menuntut penguatan demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Militer diminta kembali ke fungsi pertahanan sesuai UU TNI No. 34/2004, sementara jabatan sipil harus diisi lembaga sipil. Pejabat publik dilarang rangkap jabatan di swasta atau BUMN.
Partai politik juga diminta dikelola profesional, bukan dikuasai kroni. Budaya suap antara perusahaan dan pejabat publik harus diberantas. Survei World Bank (2023) mencatat 35,4% perusahaan besar di Indonesia pernah diminta suap, 44% perlu membayar suap untuk izin operasional, dan 60,9% untuk izin konstruksi.
Selanjutnya: Kapan Hero Obsidia Rilis di Mobile Legends? Ini Fakta Hero Terbaru yang ke-130
Menarik Dibaca: Tiket.com Luncurkan Halo Tiket, Layanan Pelanggan Cepat dan Tepat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News