Reporter: Danielisa Putriadita | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Credit default swap (CDS) Indonesia belum mengalami penurunan yang signifikan. Padahal, nilai tukar rupiah sudah kembali stabil dengan kecenderungan menguat. Mengapa?
Data Bloomberg menunjukkan, CDS dengan tenor lima tahun pada Kamis (29/11) turun 3,54% ke 143,39 dari hari sebelumnya. Jika dibandingkan akhir bulan lalu yang menjadi puncak level CDS Indonesia tenor lima tahun telah turun 9,96%.
CDS Indonesia tenor 10 tahun juga turun 2,13% menjadi 222,70 pada Rabu (28/11). Sedangkan dibanding akhir Oktober 2018, CDS Indonesia tenor 10 tahun telah turun 5,35%.
Namun, level CDS Indonesia saat ini masih lebih tinggi dari level CDS di awal November yang sempat berada di level 142,06. Hal yang serupa juga terjadi pada CDS untuk tenor 10 tahun.
Research Analyst Capital Asset Management, Desmon Silitonga mengatakan, faktor yang menggerakan CDS menurun memang bukan hanya dari stabilnya nilai tukar rupiah.
CDS yang menurun memang diartikan bahwa investor asing mulai kembali masuk ke pasar keuangan Indonesia. Akan tetapi, stabilnya rupiah kali ini tidak hanya karena faktor masuknya asing, melainkan dari beragam kebijakan yang pemerintah buat. Misalnya, menghimbau eksportir untuk mengkonversikan dollar AS kerupiah dan kebijakan Non-Deliverable Forward (NDF) yang bisa menambah pasokan dollar AS di dalam negeri.
CDS Indonesia mulai secara perlahan bergerak turun lebih disebabkan karean faktor eksternal. Desmon mengatakan pertumbuhan ekonom AS kini tidak sekuat seperti apa yang sebelumnya diekspketasikan. Hal ini tercermin dari The Fed yang diproyeksikan hanya menaikan 50-70 basis poin suku bunga acuannya, lebih rendah dari kenaikan suku bunga The Fed di tahun ini yang bisa mencapai 100 bps.
Di satu sisi, Desmon mengatakan emerging market termasuk Indonesia saat ini memang cukup menarik. Namun, karena perang dagang AS dan China semakin memanas hal ini menimbulkan risiko bagi negara emerging market.
"Satu sisi, investor memang sudah masuk ke emerging market, termasuk Indonesia, tetapi masih ada keraguan juga karena sentimen global," kata Desmon. Hal ini lah yang membuat CDS Indonesia masih cenderung bergerak volatil.
Apalagi, pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun depan, Desmon perkirakan belum bisa dipastikan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga tercatat masih bergerak volatil. Hal ini membuat persepsi investor global baik yang masuk melalui investasi langsung maupun portofolio masih terus melakukan berbagai pertimbangan, meski saat ini rupiah stabil. Memang Indonesia memberikan imbal hasil investasi yang menarik, tetapi investor asing juga memperhatikan risiko ke depannya. " Saya pikir investasi di Indonesia masih tetap dimintai asing, oleh karena itu CDS juga alami penurunan," kata Desmon.
Selain itu, CDS Indonesia saat ini juga dipengaruhi oleh antisipasi pelaku pasar pada kenaikan suku bunga acuan The Fed di Desember. Desmon memperkirakan kenaikan suku bunga The Fed di akhir tahun tidak akan memberikan gejolak yang besar pada CDS karena sudah dimasukkan dalam penilaian.
Ekonom PT Pemeringkat Efek Indonesia Fikri C. Permana juga mengatakan penurunan CDS kali ini lebih dipenagruhi oleh dollar AS yang melemah. Hasil pemuilu AS yang memangkan partai Demokrat menjadikan dollar AS melemah. Keteika dollar SA melemah mata uang emerging market membaik. Di saat yang sama, justru data ekonomi dalam negeri tidak menunjukkan angka yang spesial dengan kondisi defisit transaksi berjalan (current account deficit/ CAD) Indonesia dan inflasi yang belum membaik.
Fikri memproyeksikan selama imbal hasil surat utang pemerintah tenor 10 tahun stabil di rentang 7,8-8,2 maka CDS bisa bergerak lebih stabil cenderung menurun. Namun, bila Trump ke depan kembali membuat pasar global tidak stabil dan ekonomi dalam negeri ikut tidak stabil, maka CDS berpeluang berbalik naik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News