Reporter: Agus Triyono, Handoyo, Margareta Engge Kharismawati | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Setelah enam bulan dilantik sejak akhir Oktober tahun lalu, kinerja menteri ekonomi Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) belum memuaskan. Kondisi ini tercermin dari sejumlah indikator makro ekonomi di triwulan I 2015.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pertumbuhan ekonomi triwulan pertama 2015 hanya mencapai 4,71%, lebih rendah dari triwulan I-2014 sebesar 5,14%. Bahkan, pelambatan ekonomi di kuartal I tahun ini terendah sejak tahun 2011.
Ini hanya salah satu indikator makro ekonomi menjadi gambaran. Catatan lain, kemarin BPS mengumumkan, per Februari 2015, pengangguran terbuka justru bertambah sebesar 300.000 orang menjadi 7,45 juta atau 5,81% dari total angkatan kerja. Sebelumnya, pengangguran masih 5,7% atau 7,15 juta orang. Padahal, APBNP 2015 menargetkan tingkat pengangguran sebesar 5,6%.
Tak pelak, publik menilai kinerja para menteri ekonomi Jokowi belum memuaskan. Publik kecewa dengan harga bahan kebutuhan pokok dan energi yang terus naik. "Fakta-fakta di lapangan saat ini adalah peringatan bagi semua menteri ekonomi pemerintahan Jokowi," kata Hariyadi Sukamdani, Ketua Umum Apindo, kepada KONTAN.
Ekonom LIPI Latif Adam menyoroti lemahnya kinerja Menteri Perdagangan Rahmat Gobel dan Menteri Perindustrian Saleh Husein. Di awal jabatannya, Gobel sempat menetapkan target ekspor dalam tiga tahun akan meningkat 300%. Tapi, sampai kini, belum ada hasil nyata dari target itu, pun upaya yang dilakukannya.
Di bawah kepemimpinan Gobel, Kementerian Perdagangan tampak sulit mengontrol harga pangan. Sampai kini, dalam catatan KONTAN, Rachmat belum mengeluarkan sanksi kepada pengusaha dan distributor yang menimbun pangan di gudang.
Koordinasi lemah
Sedangkan Kementerian Perindustrian yang dikomandani Saleh Husein belum memiliki grand strategy pengembangan industri nasional, utamanya mengembangkan industri manufaktur dan industri dasar. Namun Saleh tampak santai mendengar kritik ini. "Saya yang penting kerja dan kerja," tutur Saleh, kepada KONTAN.
Jika menggunakan rentang 1 sampai 5, secara umum, Ekonom Universitas Indonesia, Berly Martawardaya, memberi nilai 3,5 bagi tim ekonomi kabinet sekarang. Buruknya koordinasi antar-menteri dinilai jadi pemicu sulitnya pemerintah untuk bekerja. Persoalan ini bahkan nyaris terjadi semua lini. Akibatnya, ide-ide besar yang bertujuan baik, tak menetes ke bawah dan malah macet di tingkat operasional.
Urusan ini tentu tak bisa serta merta dilimpahkan ke para menteri. Ini adalah domain Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Idealnya, Presiden dan Wakil Presiden bisa menyatukan irama tim kabinetnya, bukan malah memperunyam koordinasi.
Yang terang, buruknya koordinasi ini malah memicu anek kontroversi yang tidak produktif. Misalnya, tuntutan mengejar penerimaan pajak sebanyak-banyaknya, justru berlawanan dengan pengembangan industri dalam negeri dan pemberian insentif investasi.
Alhasil, sejumlah peluang malah lewat begitu saja. Contohnya adalah potensi investasi bidang elektronik. Saat ini, banyak pabrikan elektronik yang mengalihkan basis produksi keluar dari Tiongkok dengan nilai sekitar US$ 300 miliar. "Ada potensi yang bisa direbut. Tapi, Indonesia belum bisa mengambil kesempatan emas ini karena iklim investasi kurang baik," ujar Anton Supit, pengusaha nasional.
Ke depan masih banyak pekerjaan penting yang harus dituntaskan oleh pemerintah. Antara lain meningkatkan belanja pemerintah sesuai target di APBN Perubahan. Sebab pertumbuhan ekonomi di kuartal II dan selanjutnya akan lebih banyak dipicu oleh belanja pemerintah. Apalagi Kepala BPS Suryamin, menyatakan lambatnya belanja anggaran di kuartal I menjadi penyebab ekonomi melambat. "Belanja anggaran jangan lagi tertunda," ujar Suryamin.
Hingga akhir tahun ini, Hariyadi Sukamdani menilai pemerintah tak bisa mengharapkan Foreign Direct Investment (FDI) untuk mengerek pertumbuhan sementara pajak tidak bisa diandalkan karena penerimaannya diperkirakan di bawah tahun 2014. "Pemerintah harus menambah belanja modal, kalau perlu dari utang, " tutur Hariyadi. Pemulihan ekonomi Indonesia, jelas pertaruhan besar bagi tim ekonomi kabinet saat ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News