Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Akhirnya, Peraturan Presiden (Perpres) tentang beneficial ownership (BO), yang mengatur keterbukaan pemilik manfaat dari sebuah korporasi resmi berlaku. Hal ini sejalan dengan diterbitkannya Perpres Nomor 13 Tahun 2018 tentang Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Terorisme.
Pengamat Perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji berpendapat, Perpres ini merupakan ketentuan yang perlu diterapkan di Indonesia karena kebutuhan untuk mengidentifikasi pemilik manfaat BO dari korporasi. Tidak hanya untuk pencegahan dan pemberantasan money laundering dan pendanaan terorisme, tapi juga untuk mencegah upaya ‘melarikan diri’ dari beban pajak melalui aktivitas pengelakan (tax evasion) dan penghindaran pajak (tax avoidance).
“Pajak bisa menjadi alasan bagi BO untuk menyamarkan asal usul, pengendalian, jumlah manfaat yang diterima, serta memutus rantai kepemilikan, agar terhindar sebagian atau seluruhnya dari kewajiban membayar pajak yang seharusnya menjadi tanggungjawabnya,” kata Bawono kepada KONTAN, Rabu (7/3).
Asal tahu saja, Indonesia juga akan dinilai oleh Global Forum on Transparency and Exchange of Information untuk Exchange of Information (EoI) by request yang salah satunya memungkinkan pertukaran informasi terkait beneficial ownership dengan negara lainnya.
“Tidak mengherankan jika mulai 2017 Global Forum telah mensyaratkan adanya identifikasi BO dalam format pertukaran informasi,” kata dia.
Selain itu, praktik BO juga erat kaitannya dengan fenomena aliran dana gelap (illicit financial flows) ke luar yurisdiksi. Ia memaparkan, aliran dana gelap dapat dibagi menjadi dua cakupan.
Pertama, dana hasil tindak kriminal, misalnya korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan yang terorganisir, dan sebagainya. Kedua, dana yang didapatkan secara legal namun menjadi ilegal karena dipergunakan untuk pembiayaan tindak ilegal (misalnya pendanaan terorisme) atau pemindahan dana secara ilegal (misalnya pelanggaran hukum pajak).
“Menurut Global Financial Integrity tahun 2015, selama 2004-2013, rata-rata tiap tahun aliran dana gelap ke luar Indonesia sebesar US$ 18.071 juta atau sekitar Rp 200 triliun,” jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News