Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Kicauan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, empat tahun silam, ditindaklanjuti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Satu demi satu keterangan dan barang bukti dikumpulkan untuk mengungkap skandal besar di balik pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) pada 2011-2012.
Awalnya, Nazaruddin dianggap hanya mengada-ada.
Ia pun sempat dilaporkan ke kepolisian atas dugaan pencemaran nama baik dan fitnah.
Kini, KPK membuktikan bahwa pernyataan yang disampaikan Nazaruddin bukan sekadar bualan.
Berkas penyidikan setebal 24.000 halaman sudah berada di Gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Keterangan lengkap hampir 300 saksi telah tersusun rapi, terangkum dalam sebuah surat dakwaan setebal 120 halaman.
Dua pejabat Kementerian Dalam Negeri, yakni Irman dan Sugiarto, diyakini bukan orang terakhir yang akan duduk di kursi terdakwa.
Persidangan terhadap keduanya justru dinilai awal terbongkarnya mega korupsi e-KTP.
"Kami tentu tidak hanya bicara soal nama-nama yang ada di dakwaan, tapi lebih kompleks dari itu. Ada nama peran dan posisi masing-masing dalam rentang waktu proyek e-KTP yang kami sidik," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Gedung KPK Jakarta, Senin (6/3).
Kerugian negara
Proyek pengadaan e-KTP dimenangkan konsorsium Perusahaan Umum Percetakan Negara Republik Indonesia (Perum PNRI).
Konsorsium itu terdiri atas Perum PNRI, PT Superintending Company of Indonesia (Sucofindo persero), PT LEN Industri (persero), PT Quadra Solution, dan PT Sandipala Arthaputra.
Nilai proyek multiyears pengadaan e-KTP lebih dari Rp 6 triliun.
Pasca dimulainya penyidikan, KPK meminta bantuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghitung dugaan kerugian negara.
Hasilnya, audit BPKP menemukan indikasi kerugian negara sebesar lebih dari Rp 2 triliun.
Korupsi dalam bentuk penggelembungan anggaran dan suap diduga mengalir ke sejumlah pihak.
Beberapa di antaranya diduga mengalir ke sejumlah pejabat swasta, pejabat di Kementerian Dalam Negeri, dan sejumlah anggota DPR RI.
Dalam proses penyidikan, KPK menerima penyerahan uang sekitar Rp 220 miliar dari pihak korporasi.
Uang tersebut berasal dari 5 perusahaan dan 1 konsorsium.
Selain itu, KPK juga menerima penyerahan uang senilai Rp 30 miliar dari 14 orang.
Menurut Febri, sebagian dari 14 orang tersebut adalah anggota DPR yang pernah terlibat dalam proyek pengadaan e-KTP.
Libatkan nama besar
Saat ditemui wartawan beberapa hari lalu, Ketua KPK Agus Rahardjo memastikan ada nama-nama pejabat besar yang akan diungkap pada sidang perdana yang bakal digelar Kamis (9/3) mendatang.
Ia berharap tidak terjadi guncangan politik setelah dakwaan dibacakan jaksa KPK.
KPK belum mengungkap secara detil nama-nama pejabat, termasuk siapa saja anggota DPR yang bersikap kooperatif dan menyerahkan uang ke KPK.
Namun, selama penyidikan kasus ini, setidaknya ada 23 anggota DPR yang dipanggil untuk diperiksa.
Dari jumlah tersebut, hanya 15 anggota DPR yang memenuhi panggilan penyidik KPK.
Empat di antaranya merupakan mantan pimpinan Komisi II DPR. Mereka adalah, politisi Partai Golkar Chairuman Harahap, dan politisi Partai Demokrat Taufiq Effendi.
Taufiq pernah menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.
Selain itu, anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Teguh Juwarno, dan politisi PDI Perjuangan Ganjar Pranowo.
Saat ini, Ganjar menjabat Gubernur Jawa Tengah.
Anggota Fraksi Partai Golkar lainnya yang pernah diperiksa KPK yakni, Agun Gunandjar Sudarsa, dan Setya Novanto yang kini menjabat sebagai Ketua DPR RI.
Selain itu, Melchias Marukus Mekeng, yang saat ini mendaftar sebagai calon komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Nama lainnya, Markus Nari dan mantan Ketua DPR dari Partai Golkar Ade Komaruddin.
Kemudian, anggota Fraksi PDI Perjuangan yang pernah diperiksa KPK yaitu, Arief Wibowo dan Olly Dondokambey, yang kini menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Utara.
Sementara itu, anggota Fraksi Partai Demokrat yang pernah diperiksa KPK adalah Mohammad Jafar Hafsah dan Mirwan Amir.
Saat pembahasan proyek e-KTP, Mirwan merupakan Wakil Ketua Badan Anggaran DPR.
KPK juga memeriksa anggota Fraksi Partai Demokrat Khatibul Umam Wiranu.
Dari Fraksi Partai Hanura, KPK telah memeriksa mantan anggota Komisi II DPR, Djamal Aziz.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly juga pernah dua kali dipanggil untuk diperiksa penyidik KPK.
Namun, Laoly berhalangan dalam dua kali pemanggilan itu.
Dalam kasus ini, KPK juga pernah memeriksa mantan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, dan mantan Menteri Keuangan, Agus Martowardojo.
"Bahwa ada pihak lain yang juga diduga menerima uang dalam jumlah lebih besar, dan tidak bersikap kooperatif, kami memiliki bukti-bukti dan kami akan sampaikan nanti mulai dari proses dakwaan," kata Febri. (Abba Gabrillin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News