kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ampuhkah RDG Tambahan menjinakkan kemerosotan rupiah? Ini datanya


Kamis, 31 Mei 2018 / 10:55 WIB
Ampuhkah RDG Tambahan menjinakkan kemerosotan rupiah? Ini datanya
ILUSTRASI. NILAI TUKAR RUPIAH


Reporter: Hasbi Maulana | Editor: Hasbi Maulana

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rabu (30/5) kemarin Bank Indonesia (BI) menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan tambahan. Dalam hajatan paling sakral di bank sentral tersebut, BI menaikkan lagi bunga BI 7 day (Reverse) Repo Rate (BI-7DRRR) sebesar 25 basis poin dari 4,50% menjadi 4,75%.

RDG kemarin terbilang istimewa karena belum genap dua pekan lalu Dewan Gubernur Bank Indonesia telah menggelar rapat serupa. Lebih istimewa lagi, dalam RDG tabahan ini Dewan Gubernur BI kembali menaikkan BI-7DRRR sebesar 25 basis poin, sehingga bunga acuan bertambah lagi menjadi 4,50%.

Jadi, dalam tempo sebulan, bunga acuan BI telah naik 50 basis poin alias 0,5%.

Melalui siaran pers yang menyertai keputusan RDG kemarin, BI menjelaskan bahwa kebijakan ini merupakan langkah pre-emptive, front-loading, dan ahead of the curve BI untuk memperkuat stabilitas khususnya stabilitas nilai tukar terhadap perkiraan kenaikan suku bunga AS yang lebih tinggi dan meningkatnya risiko di pasar
keuangan global.

Sebagaimana kita ketahui, selama beberapa waktu terakhir nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) terus merosot. Pusat Data KONTAN mencatat, pada 1 Januari 2018 silam, setiap dollar AS masih bisa ditebus dengan Rp 13.542. 

Setelah itu rupiah terus melemah sehingga memasuki kuartal kedua (1/4) kita butuh Rp 13.750 untuk membeli US$ 1. Kemerosotan rupiah semamin parah. Awal bulan
ini (2/5), kurs turun hingga Rp 13.936 per dolar AS. Bahkan, Kamis pekan lalu (24/5), kurs tengah rupiah sempat anjlok hingga Rp 14.205 per dolar AS.

Penurunan nilai tukar rupiah yang terus berlangsung bahkan setelah BI menaikkan bunga pada 15 Mei lalu, mungkin menjadi alasan kuat yang mendorong BI menyelenggarakan RDG tambahan dan menaikkan bunga dua kali dalam sebulan.

Akankah kenaikan bunga melalui RDG tambahan ini efektif menahan laju kemerosotan nilai tukar, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang? Kita hanya bisa menantikan hasilnya sembari berdoa dan mengamini.

Namun demikian, boleh-bleh saja bagi kita untuk memperkirakan efeknya dengan membedah kembali data historis.

Bukan kali ini saja Bank Indonesia menyelenggarakan RDG tambahan hingga dua kali dalam sebulan. Pusat Data KONTAN mencatat, sejak 2005 hingga kemarin, tercatat tiga kali BI menggelar RDG tambahan sekaligus menetapkan bunga acuan.

Namun demikian, kenaikan BI-7DRRR yang berlangsung kemarin tetap sangat spesial. Sebab, penetapan bunga acuan sebanyak dua kali dalam sebulan itu juga disertai kenaikan bunga acuan sebanyak dua kali pula. Sebelum-sebelumnya, kenaikan bunga acaun hanya terjadi pada RDG tambahan saja, tidak pada RDG reguler.

Seperti keputusan kemarin, sebelum-sebelumnya RDG tambahan dan keputusan kenaikan bunga juga berkaitan dengan kondisi makro ekonomi, khususnya kurs rupiah. Nah, seberapa manjur jurus itu menjinakkan gejolak kurs? Mari bersama kita bedah lagi data-data lama.

RDG Tambahan Agustus 2013

Data Bank Indonesia menunjukkan, kenaikan RDG dua kali dalam sebulan pernah terjadi Agustus 2013. Pada 15 Agustus 2013 BI menetapkan BI-rate yang menjadi bunga acuan waktu itu, tetap 6,50% alias tidak berubah ketimbang bulan sebelumnya. 

Namun, persis dua pekan kemudian, BI menggelar RDG tambahan dan menaikkan BI-rate sebesar 50 basis poin, menjadi 7,00%.

Melalui siaran pers BI menyatakan kenaikan bunga tersebut terjadi untuk menyikapi cepatnya dinamika perubahan perekonomian global dan nasional. Dewan Gubernur BI memandang perlu menyelenggarakan RDG tambahan untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kondisi makroekonomi, moneter, dan sistem keuangan. 

Salah satu pusat perhatian bank sentral waktu itu adalah ketidakpastian pengurangan bertahap (tapering) stimulus moneter oleh bank sentral AS, the Fed, yang terus memberikan tekanan pada pasar keuangan di berbagai negara. 

BI juga menaruh perhatian tren penarikan modal dan meningkatnya risiko investasi saat itu yang menyebabkan penurunan harga saham, meningkatnya yield obligasi, dan pelemahan nilai tukar di hampir seluruh negara emerging market, termasuk Indonesia.

Waktu itu BI juga mencermati kinerja perdagangan dan pasar keuangan Indonesia. Defisit transaksi berjalan pada triwulan II-2013 mencapai 4,4%. Defisit terutama berasal dari neraca perdagangan migas, sehubungan dengan masih tingginya impor minyak untuk konsumsi dalam negeri.

Lantas, bagaimana efek kenaikan bunga acuan ganda saat itu terjadi inflasi dan nilau kurs rupiah terhadap dollar AS?

Pusat Data KONTAN mencatat, jauh sebelum kenaikan itu, pada Januari 2013 inflasi bulanan kita sebesar 1,03% dengan inflasi tahunan 4,57%. Saat itu kurs tengah rupiah Bank Indonesia tercatat Rp 9.685 per dollar AS. 

Satu kuartal berikutnya, per 1 April 2013, belum tampak perbedaan data makro yang terlalu signifikan. Meski inflasi tahunan meningkat menjadi 5,57%, nilai tukar rupiah justru menguat menjadi Rp 9.675 per dollar AS. 

Kondisi mencemaskan baru tampak pada Juli 2013. Waktu itu inflasi bulanan saja melonjak 3,29% dengan inflasi tahunan menjulang hingga 8,61%. Nilai tukar rupiah merosot Rp 9.934 per dollar AS.

Agustus BI menaikkan bunga lewat RDG tambahan. Nah, di bulan yang sama, inflasi bulanan melunak ke 1,12% dengan inflasi tahunan juga turun ke 8,79%. Adapun nilai tukar rupiah telah saja merosot jauh, hingga Rp 10.288 per dollar AS.

Memasuki kuartal III 2013, inflasi pada Oktober 2013 semakin jinak menjadi 1,07% (bulanan) dan 8,22% (tahunan). Bagaimana dengan kurs rupiah?

Ternyata rupiah sudah rontok sampai Rp 11.535 per dollar AS. Bahkan, setelah BI menaikkan BI-rate lagi menjadi 7,5% pada bulan November 2013, niai tukar rupiah tetap ambrol. Dalam jangka panjang, per Januari 2014, kurs rupiah sudah mencapai Rp 12.242 per dollar AS.

Dari sini kita bisa melihat  bahwa kenaikan BI rate yang ditetapkan melalui RDG tambahan pada Agustus 2013 memang manjur untuk meredam infkasi, tetapi tidak berdampak signifikan terhadap kemerosotan nilai tukar rupiah.

RDG Tambahan November 2014

Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI dua kali dalam sebulan juga terjadi pada November 2014. Pada 13 NOvember 2014, BI menetapkan BI-rate 7,50%, tidak berbeda dari sebulan sebelumnya. Namun, hanya selang lima hari kemudian, BI menggelar RDG lagi dan menaikkan BI-rate 25 basis poin menjadi 7,75%.

Saat itu alasan BI menaikkan bunga acuan juga istimewa. Dalam siaran pers yang terbit mengiringi kebijakan tersebut, BI menyatakan bahwa salah satu alasan kenaikan BI rate adalah menjangkar ekspektasi inflasi dan memastikan tekanan inflasi pasca-kenaikan harga BBM bersubsidi tetap terkendali, temporer, dan dapat segera kembali pada lintasan sasaran yaitu 4 plus minus 1% pada tahun 2015.

Kestabilan rupiah juga menjadi salah satu pertimbangan. Siaran pers itu menyebut "...Melanjutkan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai kondisi fundamentalnya. Kebijakan reformasi subsidi BBM diyakini dapat memperkuat konfiden pasar dan perbaikan transaksi berjalan sehingga akan lebih kondusif pada pergerakan nilai tukar rupiah ke depan".

Nah, bagaimana efek kebijakan yang diambil dalam RDG tambahan tersebut?  

Pusat Data KONTAN mencatat, pada Januari 2014, sebelum kenaikan dan RDG tambahan, besaran inflasi bulanan adalah 1,07% dengan inflasi tahunan 8,22%. Saat itu kurs tengah rupiah tercatat setinggi Rp 12.242 per dollar AS. 

Sepanjang satu kuartal berikutnya tak terjadi perubahan tingkat bunga acuan. Pada April 2013, inflasi tahunan tercatat telah turun menjadi 7,25%. Nilai rupiah juga menguat jadi Rp 11.271 per dollar AS.  

Kondisi makro ekonomi masih relatif baik sampai Juli 2014. Waktu itu inflasi bulanan cuma 0,93% dan inflasi tahunan sudah sekitar 4,53%. Nilai tukar rupiah pun relatif stabil: Rp 11.798 per dollar AS. 

Ketidakberesan ekonomi baru tampak pada Oktober 2013. Inflasi bulanan waktu itu sebenarnya malah minus 0,32% dengan inflasi tahunan masih relatif anteng 4,83%. Namun, kurs rupiah saat itu sudah merayap ke Rp 12.188 per dollar AS. Itu erarti hanya dalam tempo sebulan rupiah telah merosot 3,30%.

Setelah BI menaikkan bunga lewat RDG tambahan pada November, infasi tahunan justru naik menjadi 1,5% dan inflasi tahunan ke 6,23%. Adapun rupiah masih melemah, hingga Rp 12.146 per dollar AS.

Pada Januari 2015, dua bulan setelah kenaikan bunga acuan tersebut, inflasi tahunan masih bertengger di 6,96%. Pada saat yang sama nilai tukar rupiah semakin melata hingga mencapai Rp 12.146 per dollar AS.  Bahkan pada akhir April 2015, nilai rupiah sudah terperosok ke Rp 13.043 per saham.

Rupanya jurus kenaikan bunga acuan yang diambil lewat RDG tambahan kala itu tidak terlalu ampuh untuk mengendalikan inflasi maupun menguatkan rupiah.

Jadi kira-kira bagaimana dengan keampuhan RDG tambahan sekaligus kenaikan bunga acuan kemarin? Apakah benar-benar manjur? 

Tidak ada cara lain bagi kita untuk mengetahuinya selain dengan menantikannya. Namun, ada beberapa hal yang membedakan RDG tambahan kemarin dengan dua RDG tambahan yang kisahnya sudah kita tengok tadi.

Pertama, RDG tambahan terbaru ini sudah "dimodali" oleh kenaikan bunga dalam RDG reguler sebelumnya. Kedua, bunga acuan saat ini bukan lagi BI rate, melainkan BI 7DRRR yang berlaku sebagai bung acuan sejak April 2016.

Ketiga, mungkin ini yang paling unik, RDG tambahan kemarin sekaligus RDG pertama yang dipimpin oleh Gubernur Bank Indonesia yang baru, Perry Warjiyo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×