Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga Transaksi Pasar (HTP) alias harga jual rokok diusulkan sesuai Harga Jual Eceran (HJE) atau harga sesuai banderol yang tertera pada pita cukai. Kebijakan yang mengizinkan nilai penjualan bisa di bawah harga banderol bertentangan dengan semangat pengendalian konsumsi rokok di Indonesia.
Peneliti dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, mengatakan dari sudut pengendalian rokok, harga merupakan salah satu unsur paling penting. Semakin mahal semakin baik dan jika sebaliknya, semakin murah, semakin sulit proses pengendaliannya.
“Entah bagaimana caranya, tapi harga rokok itu harus mahal. Supaya tidak gampang dibeli siapa saja,” ungkapnya dalam siaran pers, Sabtu (1/6). Atas dasar itu, Abdillah merekomendasikan agar HTP rokok bisa dinaikkan minimal menjadi 95% dari harga banderol. “Idealnya 100%,” tegasnya.
Saat ini, merujuk aturan yang ada, HTP boleh setara 85% dari harga banderol. “Jadi kalau banderolnya Rp 10.000, boleh menjual Rp 8.500 di pasaran,” terusnya. Menjual di bawah 85% pun masih tidak melanggar peraturan asalkan dijualnya tidak lebih dari 40 kota atau area yang disurvei oleh kantor Bea Cukai.
Misalnya, rokok Philip Morris Bold isi 12 batang, yang merupakan produk PT HM Sampoerna Tbk, dijual Rp 12.000 per bungkus. Padahal, harga banderolnya adalah Rp 13.440 per bungkus.
Contoh lainnya adalah diskon sigaret kretek mesin MLD. Harga yang tertulis di pita cukai dari produk PT Djarum ini adalah Rp 17.920 per bungkus. Kenyataannya, rokok ini dapat dibeli dengan harga Rp 16.000 per bungkus dengan isi 16 batang. Iklan diskon harga rokok dari produk MLD ini juga terpampang luas di billboard dan toko-toko di berbagai daerah.
Sementara itu, GG Move dari PT Gudang Garam Tbk dibanderol Rp 13.450 per bungkus. Di lapangan, rokok jenis sigaret kretek mesin isi 12 batang ini dijual Rp 12.000 per bungkus.
Praktik ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 156 tahun 2018 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau dan Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai Nomor Per-37/BC/2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Aturan ini bertentangan dengan peraturan yang posisinya lebih tinggi, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Aturan ini memuat ketentuan pelarangan potongan harga produk tembakau atau diskon.
Dalam koridor semangat pengendalian konsumsi rokok, kata Abdillah, kedua aturan yang membolehkan diskon harga itu memang bisa jadi kontraproduktif. Padahal amanat Undang Undang Cukai menegaskan pemberlakuan tarif tambahan kepada produk rokok ditujukan untuk pengendalian konsumsi rokok.
“Tapi dalam praktiknya lebih fokus ke dalam penerimaan negara. Sehingga, lebih ketat kalau harga transaksi pasar di atas HJE,” paparnya.
Dengan semangat penerimaan negara saja, HTP lebih rendah dari harga banderol tidak menjadi perhatian pemerintah. “Karena yang penting bagi pemerintah adalah penerimaan negara yang masuk. Mau dijual berapa pun (lebih murahnya) asal tarif cukai dibayar, itu tidak masalah,” terusnya.
Maka, kata Abdillah, untuk mengembalikan semangat pengendalian konsumsi rokok, aturan yang membolehkan diskon rokok itu perlu direvisi. Setidaknya supaya harga tertera pada banderol menjadi berwibawa.
”Kalau ada harga banderol terus kenapa dijual di bawah harga banderol?” herannya. Revisi tersebut bisa dilakukan pemerintah memanfaatkan momen Hari Tanpa Tembakau se-Dunia yang jatuh pada 31 Mei 2019.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News