Reporter: Sinar Putri S.Utami | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Aetra Air Jaya masih akan tetap menjalani perjanjian kerja sama (PKS) dengan PT PAM Lyonnaise Jakarta (Palyja) dan PAM Jaya terkait pengelolaan air di Jakarta.
Direktur Aetra Muhammad Selim mengatakan, pihak masih akan tetap melaksanakan PKS tersebut. Sebab, menurutnya Mahkamah Agung (MA) dalam putusannya April lalu, tidak memerintahkan PKS dibatalkan.
"Jadi dari Aetra masih akan tetap menjalani kerja sama sesuai dengan PKS," ungkapnya saat dihubungi KONTAN, Kamis (12/10). Sekadar tahu saja, perjanjian pengelolaan air Jakarta itu berlaku hingga 2023 mendatang.
Selim menilai, MA justru memerintahkan pemerintah untuk menjalani putusan. Sebab, ia mengklaim pihaknya bukan lah pihak tergugat, melainkan turut tergugat. "Dalam amar putusan jelas, yang diperintahkan adalah para tergugat bukan turut tergugat," tambahnya.
Sehingga, saat ini perusahaan yang masuk dalam Salim Grup ini justru menunggu langkah apa yang akan dilakukan pemerintah dalam melaksanakan putusan MA. Apakah membuat kebijakan baru atau tidak.
Terlebih menurutnya PKS pengelolaan air Jakarta sudah sesuai dengan peraturan pemerintah (PP) No. 122 Tahun 2015 tentang Sistem Penyedia Air Minum (SPAM). Adapun isi PP tersebut berdasarkan Pasal 42 ayat 1 dan 2 adalah penyelenggaraan SPAM dilaksanakan oleh BUMN/BUMD, UPT/UPTD, Kelompok Masyarakat; dan/atau Badan Usaha.
Yangmana penyelenggaraan SPAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a (BUMN/BUMD) dapat bekerjasama dengan badan usaha swasta. "Jadi tidak ada alasan bagi kami untuk menghentikan PKS," tegas Selim.
Terlebih bulan lalu pihaknya, Palyja dan PAM Jaya telah melakukan restrukturisasi perjanjian yang isinya sebagian dari kegiatan Aetra akan diberikan kepada PAM Jaya. "Pada intinya kami menunggu kebijakan dari pemerintah seperti apa," tandasnya.
Sementara itu, Arif Rahman dari LBH Jakarta menyampaikan, pihak pemerintah bisa saja membatalkan kerjasama tersebut lewat gugatan di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
"Tapi setahu kami, jika pemerintah tidak menjalani isi putusan itu hingga selesai pemerintah akan dikenakan denda Rp 40 triliun," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News