Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asian Development Bank (ADB) mengumumkan telah menyetujui pinjaman berbasis kebijakan sebesar US $500 juta kepada Indonesia untuk mendanai program transisi energi.
Menurut pernyataan ADB, jumlah dana tersebut akan berfokus pada pembentukan kebijakan dan kerangka regulasi yang kuat untuk transisi energi bersih, memperkuat tata kelola sektor dan keberlanjutan finansial.
Hanya saja, komitmen pembiayaan ADB dalam transisi energi menimbulkan sejumlah permasalahan.
Baca Juga: ADB Kucurkan Pinjaman US$ 500 Juta ke Indonesia Untuk Transisi Energi
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, transisi energi kendati membutuhkan dana yang cukup besar, namun diharapkan tidak menambah beban utang pemerintah maupun BUMN.
Bhima menyebut, jumlah utang pemerintah saat ini sudah lebih dari Rp 8.500 triliun. Angka ini belum ditambah beban utang jatuh tempo beserta bunga di 2025 sebesar Rp 1.350 triliun, yang sebagian akan dibayar lewat penambahan utang baru.
Untuk itu, estimasi tahun depan utang pemerintah bisa tembus Rp 9.500 hingga Rp 10.000 triliun.
"Tambahan beban utang baru dari ADB akan mempersempit ruang fiskal, dan meningkatkan ketergantungan pada utang luar negeri,” kata Bhima dalam keterangan resminya, Sabtu (21/9).
Selain ADB, kata Bhima, kita juga tak boleh melupakan skema kemitraan (Just Energy Transition Partnership (JETP), yang hanya memberikan porsi hibah 1,32% setara US$ 284,4 juta dari total komitmen US$ 21,6 miliar. Sementara pinjaman dengan persyaratan (concessional loan) cukup dominan.
Baca Juga: ADB Approves US$ 500 Million Loan for Indonesia's Energy Transition Efforts
Peneliti Celios Atinna Rizqiana atau yang akrab disapa Kiki, mempertanyakan peran dari lembaga multilateral seperti ADB dalam meringankan beban negara berkembang.
“Seharusnya dari sini kita patut mempertanyakan niatan lembaga internasional dalam urun tangan membantu proses transisi energi di Indonesia. Karena kalau tujuannya adalah mendukung kebijakan dan mewujudkan proses transisi menuju energi yang lebih baik dan berkelanjutan, bentuk bantuannya semestinya berbentuk hibah, bukan pinjaman yang pada akhirnya hanya akan menambah dalam lubang utang Indonesia,” ucap Kiki.
Bhima menambahkan, pemerintah idealnya lebih tegas dalam mendesak ADB, maupun lembaga keuangan internasional lain, agar porsi hibah lebih besar, sebagai bentuk tanggung jawab negara maju dan lembaga multilateral dalam membantu negara berkembang.
Menurutnya, transisi energi yang terlalu bertumpu pada utang akan menciptakan persepsi bahwa transisi energi itu mahal dan tidak menguntungkan. Bahkan pinjaman ini dapat masuk pada kategori Structural Adjustment Program (Penyesuaian Struktural), yakni upaya untuk memberi pinjaman bersyarat perubahan regulasi, dengan kedok membantu negara berkembang dalam melakukan transisi energi.
"Kondisinya deja vu dengan model SAP pada krisis 1998. Bedanya saat ini krisis iklim yang dijadikan jalan masuk oleh lembaga kreditur asing,” tambah Bhima.
Meskipun pihak ADB tidak memaparkan secara spesifik pemanfaatan pembelanjaan dari dana pinjaman baru tersebut, satu hal yang pasti, sebagian besar dari dana tersebut, yakni sebesar US$ 300 juta akan diperuntukan bagi pembiayaan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).
Peneliti Celios Wishnu Try Utomo menambahkan, dalam beberapa tahun terakhir panas bumi diusung oleh pemerintah sebagai jawaban pasti atas penyediaan listrik skala besar yang ramah lingkungan dan berpotensi menyejahterakan rakyat, namun kenyataan di lapangan berkata sebaliknya.
Baca Juga: Pencanangan MRT Lintas Timur-Barat Dimulai, Kemenhub Awasi Dana Hibah
Melalui inventarisasi media dan riset lapangan, Celios menemukan bahwa dari 18 PLTP terpasang, keberadaan 15 di antaranya diwarnai masalah, terutama terkait kehidupan dan penghidupan masyarakat sekitar PLTP.
Dimulai dari dampak lingkungan, berupa keringnya tanaman produksi yang berpotensi disebabkan oleh keluaran gas hidrogen sulfida (H2S) dari pembangkit, dan pencemaran air tanah yang berkorelasi dengan proses fracking dan penyuntikan sisa pengolahan uap air ke dalam tanah.
Selain itu, juga ada dampak penghidupan atas hilangnya tanah garapan. Belum lagi acap terjadi penyelewengan hukum adat dan proses sertifikasi tanah yang berujung pada konflik sosial. Dan yang utama, dampak kesehatan bagi para warga sekitar yang kerap terjadi karena kecelakaan kerja berupa kebocoran atau meledaknya pipa uap sumur atau pembangkit. Ini mengakibatkan ratusan orang dilarikan ke rumah sakit karena keracunan, bahkan berujung kematian.
Peneliti Bidang Energi dan Pertambangan Celios, Fiorentina Refani mengungkapkan bahwa pemerintah tidak seharusnya menutup mata atas apa yang terjadi pada proyek pembangkit panas bumi.
Alih-alih tindakan tegas berupa penyelidikan, sanksi hingga pembatalan proyek, pemerintah justru kerap menyangkal tiap terjadi kecelakaan, dan terus meyakinkan investor dan masyarakat akan manisnya investasi panas bumi.
"Setali tiga uang, sebagai lembaga keuangan internasional yang mengklaim memiliki komitmen lingkungan tinggi, ADB semestinya mampu menakar secara bijak peruntukan dan skema pendanaan transisi energi yang sesuai dengan standar dan prinsip berkeadilan,” pungkas Fio
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News