Sumber: Kompas.com | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Kenaikan harga gas elpiji 12 kilogram ditengarai dimanfaatkan untuk tujuan politik jelang pemilihan umum. Pemerintah dinilai sengaja memanfaatkan polemik itu untuk dipolitisasi.
"Patut dicurigai (ada politisasi) karena ada beberapa keanehan. Mengapa Pertamina yang maju ke depan, bukan Menteri Perekonomian atau ESDM?" kata pengamat kebijakan publik Andrinof A Chaniago, Minggu (5/12) di Jakarta.
Andrinof menilai kecaman-kecaman yang dilancarkan partai politik terkait kenaikan harga elpiji itu dilakukan untuk mengeruk keuntungan jelang pemilu. Dia menengarai partai politik yang berkoalisi dengan pemerintah ikut mengecam kebijakan itu agar tampak heroik di mata publik.
"Jangan-jangan ingin menjadikan Pertamina sebagai sasaran tembak, kemudian untuk dipolitisasi supaya nampak ada partai-partai yang heroik, yang tadinya ada di pemerintahan," katanya.
Menurut Andrinof, pemerintah tetap harus bertanggung jawab atas keputusan menaikkan harga elpiji dan bukan melempar kesalahan itu pada Pertamina. Hal itu dikarenakan Pertamina merupakan badan usaha milik negara (BUMN) yang digerakkan oleh pemerintah.
Pertamina dan pemerintah saling menyalahkan soal kenaikan harga elpiji 12 kilogram. Pertamina mengklaim sudah mengoordinasikan kenaikan harga ini kepada pemerintah. Di sisi lain, Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik membantah telah diberi tahu soal rencana kenaikan harga tersebut. Menurut Jero, Pertamina sempat mengusulkan agar ada kenaikan harga elpiji. Namun, pemerintah menolaknya.
Jero menyadari bahwa keputusan menaikkan elpiji adalah tindakan yang bisa diambil Pertamina sebagai korporat. Akan tetapi, kenaikan harga itu harus mempertimbangkan kondisi masyarakat.
Harga gas elpiji 12 kilogram mengalami kenaikan pada 1 Januari 2014. Di Jakarta, gas elpiji 12 kilogram yang sebelumnya seharga Rp 78.000 melonjak drastis menjadi Rp 138.000. Kenaikan ini mencapai 68%. Akibatnya, beberapa masyarakat beralih ke tabung gas elpiji 3 kilogram yang disubdisi pemerintah. Banyaknya masyarakat yang beralih ini membuat tabung gas elpiji 3 kilogram semakin sulit ditemukan di pasar.
Pertamina berdalih terpaksa menaikkan harga gas elpiji 12 kilogram sebagai akibat dari bisnis yang terus merugi. Untuk tahun 2013 saja, Pertamina mengklaim kerugian hingga sekitar Rp 7 triliun. Kerugian ini ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan yang akhirnya ditindaklanjuti Pertamina dengan menaikkan harga gas non-subsidi tersebut.
Di sisi lain, Pertamina mengungkapkan bahwa kondisi bahan baku elpiji di pasaran sudah mencapai Rp 10.700 per kilogram. Beban Pertamina semakin bertambah saat kurs dollar semakin menekan nilai tukar rupiah. (Deytri Robekka Aritonang)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News