Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kalangan pengamat pajak mengomentari langkah pemerintah yang baru-baru ini menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69 Tahun 2024.
Beleid terbaru tersebut memberikan batas waktu hingga 31 Desember 2025 bagi investor untuk memanfaatkan fasilitas tersebut.
Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman mengatakan bahwa aturan terbaru ini juga menyelipkan ketentuan pajak minimum global melalui Pasal 15 A.
Ketentuan tersebut mengatur bahwa perusahaan grup multinasional yang beroperasi di Indonesia dan memanfaatkan tax holiday tetap dikenakan pajak minimum global, sesuai aturan yang akan berlaku mulai 2025.
Baca Juga: Bukan Tax Holiday, Kepastian Regulasi Masih Jadi Faktor Utama Dongkrak Investasi
"Jika dikenai pajak minimum global, artinya investor yang sudah mendapatkan tax holiday tetap akan dikenai Pajak Penghasilan Badan," ujar Raden kepada Kontan.co.id, Minggu (3/11).
Menurutnya, insentif tax holiday tidak lagi menjadi daya tarik utama bagi investor. Oleh karena itu, dirinya menegaskan bahwa untuk memacu investasi, pemerintah harus mencari solusi selain tax holiday agar Indonesia tetap kompetitif sebagai destinasi investasi global.
"Menurut saya insentif tax holiday ini bukan lagi pemanis bagi investasi. Dengan adanya ketentuan pajak minimum global, maka ada kesetaraan di mana pun investasi dilakukan, katanya.
Sementara itu, Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar juga menyoroti dampaknya potensial dari ketentuan pajak tambahan minimum domestik yang diatur dalam beleid tersebut.
Fajry menyebut, pajak tambahan tersebut diberlakukan termasuk terhadap Wajib Pajak yang telah mendapatkan fasilitas pengurangan PPh Badan.
"Justru yang menjadi menarik adalah setelah ini bagaimana? Ini menjadi pertanyaan serius dan ini menjawab pertanyaan apakah tax holiday berhasil menarik investasi," kata Fajry.
Baca Juga: Pajak Minimum Global Berlaku pada 2025, Menteri Rosan Minta Investor Tak Perlu Risau
Ia menjelaskan, keputusan perusahaan untuk berinvestasi di Indonesia biasanya bergantung pada studi kelayakan (feasibility study) dan Return on Investment (ROI).
"Jadi, seharusnya perusahaan tidak berinvestasi ke Indonesia karena besaran nilai ROI tidak sesuai (terlalu kecil) tapi karena ada tax holiday maka besaran ROI menjadi cukup bagi perusahaan. Dan kemudian perusahaan memutuskan untuk berinvestasi ke Indonesia," imbuhnya.
Fajry menambahkan, untuk proyek investasi dengan ROI yang “mepet,” tax holiday memiliki peran signifikan dalam mempengaruhi keputusan investasi. Namun, dengan adanya pajak tambahan minimum domestik, proyek-proyek semacam itu mungkin tidak lagi feasible dari sisi ROI.
Dirinya menekankan pentingnya kepastian berinvestasi di Indonesia agar data tarik Indonesia tetap kuat bagi investor, terutama dalam menghadapi persaingan ROI antar negara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News