Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Revisi Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dipastikan tidak menjadi daftar prioritas pembahasan Undang-Undang (UU) di tahun 2020. Padahal beleid ketentuan dasar perpajakan ini sudah diajukan pemerintah sejak tahun 2016.
RUU KUP bahkan menjadi janji pemerintah dalam reformasi perpajakan jilid III yang berlangsung sejak 2017-2020. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Hadiyanto mengatakan poin penting ketentuan umum perpajakan sudah terangkum dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Fasilitas Perpajakan Untuk Penguatan Perekonomian atau Omnibus Law Perpajakan.
Baca Juga: Sri Mulyani berharap percepatan restitusi pajak jadi stimulus bagi sektor manufaktur
Aturan sapu jagat tersebut diyakini menjadi jurus utama UU perpajakan karena sejalan dengan niat pemerintah untuk meningkatkan investasi dan mendongkrang dunia usaha. Omnibus Law Perpajakan sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas).
Hadiyanto bilang, saat ini Omnibus Law Perpajakan sudah disampaikan ke Presiden Joko Widodo, sehingga sebelum masa berakhir reses legislatif beleid itu dipastikan sampai dan dibahas pada awal tahun ini.
“RUU KUP tidak menjadi prioritas pembahasan di 2020. tetapi akan masuk prolegnas sampai tahun 2024. Karena, beberapa ketentuan yang dibahas sudah tertampung dalam Omnibus Law Perpajakan. Selain itu, aturan ini sudah harmonisasi dengan kebijakan perundangan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN),” kata Hadiyanto di Kantor Kemenkeu, Selasa (7/1).
Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) Mukhammad Misbakhun mengatakan pembahasan RUU KUP perlu dilakukan. Prinsip perpajakan di Indonesia adalah self assessment, wajib pajak (WP) menghitung dan melapor jumlah pajak tertuang menurut mereka. Sekalipun ada pemeriksaan, itu hanya sebagai alat uji kepatuhan.
Baca Juga: Pemerintah berharap turning poin dari restitusi pajak
Sistem self assessment berprinsip semua wajib pajak dianggap benar kecuali ada bukti lain yang membuktikan bahwa dia tidak benar. Nah, salah satu alat ukurnya adalah pemeriksaan. Namun demikian yang terjadi saat ini adalah intensifikasi dalam bentuk pemeriksaan menjadi salah satu target penerimaan.