Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA.Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Abdurohman mengatakan bahwa stagflasi merupakan fenomena di mana pertumbuhan ekonomi yang lemah namun diikuti dengan laju inflasi yang tinggi.
“Ini sebenarnya baru gejala, dan terjadi pada perekonomian global,” ujar Abdurrahman kepada Kontan.co.id, Minggu (12/6).
Ditanya apakah akan merembet ke Indonesia, menurutnya perlu melihat kondisi ekonomi pada saat ini. Abdurrahman menjabarkan, sampai saat ini ekonomi Indonesia terus menunjukkan penguatan. Terbukti pada Kuartal I 2022, ekonomi Indonesia tumbuh 5,01 secara year on year (yoy) meskipun terjadi gelombang omicron.
Sementara itu, dengan permintaan yang sangat kuat selama Ramadhan dan Idul Fitri, kinerja ekspor juga kuat, dimana laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pada Kuartal II-2022 akan diperkirakan lebih tinggi jika dibandingkan pada Kuartal I-2022.
Baca Juga: Ekonomi Mulai Pulih, Penyaluran Kredit Konsumsi Naik 6,4% hingga April 2022
Abdurrahman melanjutkan, efek melonjaknya konsumsi masyarakat dengan relaksasi aturan pembatasan sosial dan perjalanan serta terus meningkatnya investasi juga akan mendorong kinerja pertumbuhan ekonomi pada semester II-2022.
“Oleh karena itu, laju pertumbuhan ekonomi overall 2022 akan berada di atas 5%. Perkiraan terbaru Bank Dunia dan IMF untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia, masing-masing 5,1% dan 5,4%,” jelasnya.
Di sisi lain, Abdurrahman mengatakan, laju inflasi nasional secara yoy juga dalam tren yang meningkat pada bulan April dan Mei, terutama karena ada efek Ramadhan dan Idul Fitri, serta kenaikan harga komoditas global.
Adapun laju inflasi Indonesia secara yoy pada Mei 2022 adalah 3,6%. Angka ini masih termasuk moderat jika dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti AS yang mencapai 8,6%, Turki 74% serta Argentina 50%.
“Kenapa inflasi Indonesia masih relatif rendah? Hal ini karena efek kenaikan harga global hampir semuanya di absorb oleh Pemerintah melalui APBN,” tuturnya.
Baca Juga: Bank Dunia Sebut Pengetatan Kebijakan Moneter Bisa Hambat Modal Asing ke Asia Pasifik
Konsekuensinya, Ia mengatakan bahwa pemerintah harus menanggung tambahan belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sekitar Rp 392 triliun untuk subsidi dan kompensasi ke Pertamina dan PLN.
“Negara-negara lain yang sudah tidak ada mekanisme subsidi energi, kenaikan harga energi global semuanya di passed-through ke harga energi domestiknya,” kata Abdurrahman.
Terkait stagflasi global, Abdurrahman mengatakan bahwa dalam jangka pendek, staglasi global baru menunjukkan gejala serta efek rambatannya ke Indonesia masih terbatas.
Namun menurutnya, jika konflik geopolitik berkepanjangan dan menyebabkan melemahnya perdagangan dan pertumbuhan global, maka pada akhirnya akan berpotensi mempengaruhi ekonomi domestik, meskipun tetap relatif terbatas, mengingat Indonesia merupakan produsen sebagian besar komoditas dan permintaan domestik yang relatif besar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News