Sumber: Kompas.com | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Dari 35 lembaga survei dan hitung cepat yang sudah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum hingga Selasa (4/3), tak satu pun mencantumkan sumber dana penelitian. Mereka baru akan menyebutkan sumber dana pada saat rilis hasil survei.
Sesuai Pasal 22 Peraturan KPU No 23/2013, lembaga survei dan hitung cepat harus menyerahkan persyaratan ke KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota. Dalam persyaratan, ada surat pernyataan yang salah satu klausulnya melaporkan metodologi pencuplikan data (sampling), sumber dana, jumlah responden, tanggal dan tempat pelaksanaan survei atau jajak pendapat dan hitung cepat.
Dalam berkas yang dikumpulkan di Biro Teknis Humas KPU, tidak ada informasi sumber dana memadai. PT Indobarometer dan Markplus Insight, misalnya, hanya mencantumkan sumber dana survei nasional berasal dari klien, baik perorangan maupun lembaga, yang akan disampaikan saat rilis hasil. ”Menurut lembaga yang mendaftar, tidak ada klausul di peraturan yang mengharuskan mereka mencantumkan sumber dana,” ujar Prastiwi, anggota staf Biro Teknis Humas KPU.
Anggota staf PT Indobarometer, Faugi, saat dimintai konfirmasi mengatakan, pada poin ke-8 Pasal 22 PKPU No 23/2013 tidak disebutkan perincian sumber dana. Lembaganya akan menyebutkan sumber dana saat rilis hasil survei. ”Sesuai pengetahuan kami hanya surat pernyataan, tidak ada perincian. Hal itu juga sudah diketahui KPU saat kami mendaftar di sana,” ujarnya.
Andrinof A Chaniago, Ketua Umum Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia, mengatakan, tingkat kepentingan dalam sebuah survei atau hitung cepat adalah metodologi penelitian karena berhubungan dengan tanggung jawab kebenaran hasil survei atau hitung cepat. Jika metodologi tak bisa dipertanggungjawabkan, KPU bisa mempertanyakan sumber dana.
Andrinof menambahkan, berdasarkan pengalaman Pemilu 2009, banyak upaya politisasi terhadap hasil kerja ilmiah lembaga survei dan hitung cepat. Jika hasil tidak sesuai harapan politisi, survei dianggap bayaran atau pesanan. Upaya politisasi ini harus dicegah. Karena itu, lembaga survei harus mau diaudit.
Dalam diskusi publik Wajah Survei Politik Indonesia di KPU, Ade Armando dari majalah Indonesia 2014 menyebutkan, banyak lembaga survei abal-abal yang memublikasikan hasil survei. Disebut abal-abal karena pertanyaan tricky, mengarahkan, prematur umumkan hasil, dan metodologi tidak jelas. (A13)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News