Reporter: Anna Suci Perwitasari | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pemerintah akan fokus untuk menjaga stabilitas ekonomi ketimbang pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada 2014 mendatang. Pemerintah memandang perlunya langkah tersebut untuk melanjutkan tren penurunan pada defisit transaksi berjalan atawa current account deficit yang sudah terjadi sejak kuartal III 2013.
Pemerintah melihat, tingginya pertumbuhan ekonomi akan berdampak pada defisit transaksi berjalan. Hal ini mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia terdorong oleh konsumsi domestik yang ditutupi oleh barang impor, baik migas maupun non migas. Padahal, perkembangan sektor ekspor belum menggembirakan dengan harga barang komoditas yang masih rendah.
Untuk itu, pemerintah menyiapkan beberapa kebijakan dalam jangka pendek maupun menengah. Seperti kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) pasal 22 impor khusus barang konsumsi. Menurut Menteri Keuangan Chatib Basri hal ini dapat menekan importir untuk menekan impor barang konsumsi seperti tas, pakaian dan ponsel.
Selain itu, pemerintah juga akan memberikan tax allowance untuk sektor intermediate goods. Ini mendukung rencana pemerintah agar industri menengah makin berkembang di Indonesia. Selama ini, Indonesia hanya bergantung pada sumber daya alam mentah tanpa diolah. Seluruh importir akan dikenakan pajak merata yaitu 7,5%.
Kenaikan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk kendaraan bermotor pun akan tetap dilakukan pemerintah. Di sisi lain, untuk meningkatkan sumber daya manusia, Chatib berjanji akan memberikan insentif fiskal pada perusahaan yang melakukan research and development (r&d).
Sementara, dari sisi moneter, kenaikan suku bunga acuan atawa BI Rate di tahun ini yang sudah mencapai 175 basis poin menjadi 7,5% berdampak pada perlambatan kredit. Ini menjadi tanda banyak perusahaan yang akan mengerem rencana ekspansinya tahun depan dan lebih berhati-hati.
Chatib bahkan hanya menargetkan pertumbuhan ekonomi 2014 dikisaran 5,6%-6%. "Kalau tumbuhnya lebih dari 6,2% itu artinya pemerintah gagal," jelasnya.
Sementara itu, BI menilai, defisit transaksi berjalan idealnya berada di kisaran minus 1,7%. Menurut Agus Martowardojo, Gubernur BI, menyatakan sebaiknya transaksi berjalan tetap berada di sisi defisit. Jika langsung mengalami surplus, malah akan berdampak buruk pada perekonomian Indonesia. "Idealnya defisit ada dikisaran 0,25%-2,5%," tegasnya.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai langkah pemerintah untuk mengorbankan pertumbuhan sudah tepat. Hal ini untuk melindungi defisit transaksi berjalan. Peningkatan pajak barang konsumsi dinilai tidak akan berdampak signifikan, tapi paling tidak dapat mengetatkan impor.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News