kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Potensi jebolnya subsidi energi 2018 kian besar


Rabu, 03 Januari 2018 / 22:12 WIB
Potensi jebolnya subsidi energi 2018 kian besar


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Potensi jebolnya subsidi energi tahun ini semakin besar karena harga minyak dunia masih menunjukkan tren peningkatan.

Pemerintah menghitung rata-rata realisasi harga minyak Indonesia (ICP) hingga 15 Desember 2017 sebesar US$ 50,3 per barel.

Angka tersebut lebih tinggi dibanding asumsi dalam APBNP 2017 yang dipatok di level US$ 48 per barel.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, mempertimbangkan kondisi ekonomi global yang semakin membaik pada tahun ini serta mempertimbangkan harga minyak dunia yang saat ini sudah di atas level US$ 60 per barel, maka asumsi harga ICP sebaiknya direvisi.

“Sekitar US$ 50- US$ 55 per barel mengingat realisasi harga ICP pada tahun 2017 yakni sebesar US$ 50 per barel, lebih tinggi dari asumsi pemerintah,” kata Josua kepada Kontan.co.id, Rabu (3/1).

Menurut Josua, di sisi belanja negara, perubahan harga ICP akan berpengaruh pada belanja subsidi energi, dana bagi hasil (DBH) migas ke daerah serta anggaran pendidikan dan kesehatan.

Di sisi lain, pada sisi penerimaan, perubahan harga minyak mentah akan berdampak terhadap penerimaan PNBP SDA migas dan PPh migas.

Realisasi PNBP pada 2017 sendiri mencapai Rp 281 triliun atau 108% dari target Rp 260,2 triliun di mana PNBP SDA migas menyumbang Rp 72,9 triliun atau 100,9% dari target Rp 72,2 triliun.

Sementara, untuk PPh migas capaiannya sebesar Rp 49,6 triliun atau 118,8% dari target Rp 41,8 triliun dalam APBNP 2017.

Adapun Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro mengatakan, harga minyak dunia akan berada di level US$ 55 hingga US$ 60.

Menurut Andry, apabila asumsi harga ICP dikerek naik, hal ini juga akan mempengaruhi defisit anggaran tahun ini yang ditetapkan sebesar 2,19% dari PDB lantaran pemerintah nantinya akan membayar subsidi energi yang lebih banyak.

“Kemungkinan defisit di 2018 bisa lebih besar, tapi masih aman. Paling mirip dengan defisit di 2017,” ujarnya kepada KONTAN.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha menyarankan, pemerintah sebaiknya mengajukan revisi asumsi ICP dalam rancangan APBN-P 2018.

"ICP naik, anggaran subsidi juga naik. Pemerintah juga harus bisa menjaga volume penyaluran subsidi energi," kata Satya.

“ICP kami formula terakhir dibuat mendekati Brent dan harga brent saat ini cenderung di atas US$ 60 per barel. Maka range US$ 60-65 per barel untuk asumsi ICP lebih reasonable,” paparnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×