kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pakar: Putusan pengadilan pajak munculkan konflik


Jumat, 05 Desember 2014 / 21:06 WIB
Pakar: Putusan pengadilan pajak munculkan konflik
ILUSTRASI. Petani menunjukkan tanaman buah Tin atau Ara di kebun Pengembangan Pertanian Masa Depan, perumahan Griya Katulampa, Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu (3/10/2020). ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/hp.


Sumber: TribunNews.com | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Pengamat dan pakar masalah perpajakan menilai hakim-hakim di Pengadilan Pajak hendaknya tidak salah menerapkan aturan hukum dalam putusannya, demi memberikan keadilan dan kepastian hukum kepada wajib pajak (WP) yang mengajukan banding.

“Dengan mempertimbangkan keadilan, kepastian hukum serta kemanfaatan dalam penerapan hukum pajak, kiranya pemerintah dan penegak hukum perlu lebih bijaksana melihat persoalan penuntasan hukum atas utang pajak untuk kepentingan bersama,” kata Wirawan B Ilyas, dosen FE Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Jumat (5/12).

Menurutnya, putusan atas permohonan banding dua perusahaan yang tergabung dalam Asian Agri Group (AAG) itu membuat penuntasan kasus AAG kini menjadi semakin rumit. Alasan tidak memenuhi ketentuan formal Pasal 2 huruf e UU No. 5/1986 jo UU No 51/2009 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), kata dia, menimbulkan persoalan hukum.

“Pertama, apakah Pasal 2 huruf e UU PTUN dapat menjadi dasar penolakan permohonan banding? Kedua, apakah surat ketetapan pajak (SKP) dapat diterbitkan atas dasar putusan MA? Ketiga, apakah Pengadilan Pajak berhak memutus sengketa pajak yang timbul antara Direktorat Jenderal Pajak dan AAG?” ujarnya menegaskan bahwa dengan adanya persoalan hukum ini majelis hakim yang lain mestinya tidak perlu takut membuat keputusan berbeda.

Alasan utamanya, tutur dia, sekarang SKP sudah terbit, dan AAG mempunyai hak mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU KUP setelah upaya keberatan atas SKP ditolak Ditjen Pajak. Karena itu, Wirawan mempertanyakan dasar hukum yang dipakai hakim menolak permohonan banding AAG.

Menurutnya, sungguh sulit dimengerti saat hakim mengacu pada UU PTUN dan tidak mengacu pada UU No 14/2002 tentang Pengadilan Pajak yang jelas mengatur bahwa penuntasan sengketa pajak berada dalam ranah hukum pajak.

“Wajar bila publik menilai kemampuan hukum para hakim dipertanyakan saat penuntasan sengketa pajak masih berkutat pada pemahaman kompetensi absolut penuntasan hukum melalui dua UU yang berbeda tadi,” tegasnya.

Pendapat senada diungkapkan Guru Besar Hukum Pajak FH Unhas M Djafar Saidi. Menurut Djafar, putusan majelis hakim Pengadilan Pajak pada dua anak perusahaan AAG, salah karena penyelesaian sengketa pajak memiliki hukum formal tersendiri.  Pengadilan Pajak punya hukum acara tersendiri seperti diatur dengan UU KUP, UU Penagihan pajak dengan surat paksa, dan jangan lupa UU tentang PP sendiri (UU No. 14/2002) ada hukum acara di situ.

“Jadi sama sekali tidak ada celah untuk menggunakan dasar hukum lain karena sudah detail sekali. Khususnya  mengacu pada UU KUP Pasal 25 yang menyatakan WP berhak mengajukan keberatan atas SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar) yang diterbitkan Ditjen Pajak,” papar Djafar yang berpendapat bahwa putusan PP yang salah ini sebaiknya diajukan permohonan eksaminasi ke Komisi Yudisial (KY). (Adiatmaputra Fajar Pratama)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×