kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Eks Menkeu: Subsidi energi naik sinyal kemunduran


Senin, 10 Juli 2017 / 06:45 WIB
Eks Menkeu: Subsidi energi naik sinyal kemunduran


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Defisit anggaran tahun ini diprediksi melebar. Dalam nota keuangan yang disampaikan pemerintah kepada DPR, pemerintah mematok defisit anggaran dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2017 mencapai Rp 397,2 triliun atau 2,92% dari PDB dengan asumsi belanja kementerian dan lembaga bisa mencapai 100%.

Namun, dengan telah memperhitungkan anggaran yang tidak terserap secara alamiah, defisit anggaran tahun ini diperkirakan mencapai Rp 362,9 triliun atau 2,67% dari PDB. Persoalannya, defisit yang melebar ini diikuti dengan kenaikan anggaran subsidi energi yang diusulkan naik sebesar Rp 25,8 triliun menjadi Rp 103,1 triliun dalam RAPBN-P.

Ekonom yang juga mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri bilang anggaran subsidi energi yang diusulkan naik dalam RAPBN-P adalah sebuah sinyal kemunduran. Pasalnya, langkah pemerintah yang melakukan kebijakan reformasi subsidi telah banyak menuai pujian oleh institusi besar seperti Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), JP Morgan, Morgan Stanley, dan dari akademisi universitas ternama.

“Saya sangat menyayangkan subsidi yang tiba-tiba balik lagi. Indonesia dapat pujian karena reform subsidi. Sampai dapat investment grade juga karena fiskalnya baik,” ucapnya kepada KONTAN, Minggu (9/7).

Menurut dia, pemerintah seharusnya melakukan penyesuaian harga ketimbang menambah subsidi mengingat inflasi saat ini masih terkendali, yakni sekitar 3%.

Oleh karena itu, menurut Chatib, untuk jangka pendek penting bagi pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Bila masyarakat belanja, maka produksi dari korporasi bisa bertambah sehingga profitnya naik dan setoran pajaknya naik.

Asal tahu saja, pelebaran defisit juga memperhitungkan adanya penurunan target penerimaan perpajakan sebesar Rp 50 triliun menjadi Rp 1.458,9 triliun dari target APBN 2017 yang sebesar Rp 1.498,9 triliun. Hal ini lantaran realisasi penerimaan perpajakan di semester I 2017 hanya sebesar Rp 571,9 triliun atau hanya atau 38,2% dari target.

“Untuk meningkatkan daya beli ini uangnya tidak perlu besar. Tingkatkan saja coverage-nya, misalnya Program Keluarga Harapan (PKH) dari 10 juta penerima jadi 15 juta penerima,” ucapnya.

Menurut dia, bila memandang dari angkanya saja, yakni defisit 2,67% dari PDB, perkiraan defisit anggaran ini tidak perlu dikhawatirkan. Namun, bila melihat kualitas belanjanya, maka angka ini patut diwaspadai.

“2,67% dari PDB masih oke. Dari segi angka tidak perlu khawatir, tapi kualitas belanjanya harus khawatir. Persoalannya, defisit melebar bukan karena belanja produktifnya naik,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×