Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Masih lesunya perekonomian domestik sudah terlihat sejak awal tahun ini. Sebagai contoh, rendahnya penjualan semen pada dua bulan pertama 2017. Berdasarkan data Asosiasi Semen Indonesia (ASI), konsumsi semen secara nasional pada Januari-Februari 2017 menyusut 1,1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Ekonom INDEF Abra Talattov menyebut, penyebab rendahnya penjualan semen dikarenakan masih minimnya pengerjaan proyek-proyek pemerintah terutama proyek infrastruktur. Mengikuti siklus anggaran pemerintah, biasanya proyek-proyek fisik Kementerian/Lembaga baru akan terealisasi mulai pertengahan hingga akhir tahun. Namun tidak demikian untuk proyek-proyek pemerintah yang menggunakan skema tahun jamak.
Selain itu, masih rendahnya penjualan semen juga disebabkan belum berjalannya proyek-proyek investasi swasta. Masih lesunya sektor properti juga punya andil terhadap penjualan semen. Tantangan mendasar industri semen nasional sebetulnya adalah surplus pasokan.
Meskipun kinerja ekspor mengalami kenaikan pada Januari-Februari 2017 (yoy) sebesar 19,20% dan ekspor nonmigas 20,11%, tapi secara month on month (mom) justru tumbuh negatif -6,17% dan ekspor nonmigas -6,21%.
Lesunya kinerja ekspor nonmigas menurut Abra pada awal tahun ini tidak lepas dari dampak kebijakan pemerintah terutama kebijakan pelarangan ekspor konsentrat bahan tambang per 11 Januari.
“Buktinya, ekspor kelompok barang bijih, kerak, dan abu logam pada bulan Februari merosot tajam sehingga minus 316%,” ujarnya kepada KONTAN, Minggu.
Begitupun dengan kinerja impor yang masih lesu di awal tahun ini. Pertumbuhan negatif pada impor Bahan Baku/Penolong (-363,2%) dan Barang Modal (-216,9%) pada bulan Februari (mom) mencerminkan masih terkontraksinya sektor riil. Padahal kedua jenis barang tersebut merupakan barang yang dibutuhkan oleh sektor manufaktur dalam negeri.
“Ini artinya sektor industri dalam negeri masih menahan volume produksinya. Dengan daya beli masyarakat yang semakin terpuruk akibat inflasi pangan dan harga yang diatur pemerintah, produsen dalam negeri masih ragu untuk meningkatkan produksi di awal tahun ini,” jelasnya.
Abra menilai, jika melihat pola pertumbuhan dan situasi ekonomi dalam dua tahun terakhir, sepertinya agak sulit bagi pemerintah untuk mengejar pertumbuhan 5,1% di tahun 2017 ini.
Beberapa faktor penyebabnya, yaitu inflasi pada 2017 ini diperkirakan akan lebih tinggi dari target pemerintah 4%. Bahkan IMF pun memperkirakan inflasi Indonesia pada tahun ini bisa mencapai 4,5%. Tingginya tingkat inflasi tentu akan berdampak langsung baik terhadap sektor riil maupun bagi rumah tangga konsumen.
Adapun inflasi yang tinggi berpengaruh terhadap kenaikan suku bunga kredit perbankan. Pelaku usaha semakin terbebani dengan bunga pinjaman tersebut yang kemudian berdampak terhadap kenaikan biaya produksi dan juga harga jual produk.
Implikasi berikutnya, rumah tangga konsumen semakin terpukul dengan kenaikan harga-harga barang. Kinerja sektor riil pun memburuk dengan penurunan laba perusahaan yang pada gilirannya berdampak terhadap penurunan pajak yang akan disetor pada pemerintah.
“Pemerintah harus berusaha ekstra keras untuk mendulang sumber-sumber penerimaan negara, baik berasal dari Penerimaan Pajak maupun dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),” ucapnya
Masalahnya, menurut Abra, upaya menggenjot penerimaan negara biasanya berkorelasi negatif terhadap pertumbuhan sektor riil. Dengan bekal penambahan Wajib Pajak dari program tax amnesty serta basis data pajak yang mutakhir, mestinya bisa meningkatkan tax ratio yang pada gilirannya akan membantu pencapaian target penerimaan pemerintah.
Nah, dengan anggaran yang terbatas, selain memprioritaskan pembangunan infrastruktur, menurut dia pemerintah harus lebih jeli mengembangkan potensi-potensi perekonomian domestik terutama dalam jangka pendek.
“Sektor pariwisata bisa menjadi opsi prioritas kebijakan pemerintah dalam jangka pendek. Sektor pariwisata memiliki nilai strategis karena memiliki efek multiplier yang besar, terutama terhadap sektor transportasi, hotel, perdagangan, dan lainnya,” pungkasnya
Asal tahu saja, sekor pariwisata berkontribusi hingga 9,5% terhadap PDB (WTTC, 2015), menghasilkan devisa sampai Rp140 triliun, dan menciptakan kesempatan kerja hingga 11 juta jiwa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News