Reporter: Dadan M.R., Hafid Fuad, Merlinda Riska | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan pengelola gedung menyediakan ruang khusus merokok di tempat kerja, sarana umum, dan tempat lainnya menyulut protes keras dari sejumlah pihak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyesalkan putusan MK yang mengabulkan permohonan pengujian Pasal 115 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Soalnya, keputusan ini tidak pro-anak maupun pro-kesehatan untuk masyarakat umum.
Asrorun Niam Sholeh, Wakil Ketua KPAI, menegaskan, putusan MK tersebut akan mendorong persepsi publik, terutama anak-anak, bahwa merokok itu "terhormat" karena memperoleh tempat khusus dan eksklusif. Makanya, menurut dia, keputusan itu berbahaya bagi perjuangan perlindungan anak. "Penyediaan tempat khusus ini juga mendorong anak-anak untuk menjadi perokok lebih dini akibat perlakuan eksklusif," tegas Niam, kemarin.
KPAI menilai putusan MK ini sebagai langkah mundur. Beleid ini juga bertentangan dengan prinsip-prinsip kesehatan universal, serta menghambat kampanye pemerintah soal gaya hidup sehat.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang memberlakukan larangan merokok di dalam gedung melalui Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 dan Peraturan Gubernur No 75/2005 juga menyesalkan keputusan MK itu.
Cucu Ahmad Kurnia, Juru Bicara Pemerintah DKI, mengatakan, Pemerintah DKI sudah melakukan penelitian yang yang hasilnya menyebutkan, meski sudah steril, ruangan merokok tetap berdampak negatif bagi orang lain. "Kami masih berpendapat bahwa merokok harus di luar ruangan," tegasnya.
Tapi, Subagyo Partidihardjo, anggota Komisi Kesehatan (IX) DPR mendukung keputusan MK ini. Menurutnya, tempat khusus merokok adalah bentuk hukuman sosial. "Ruangan khusus masyarakat yang terbuang dan antisosial, bukan menjadi ruang para perokok dapat perlakuan istimewa," katanya.
Karena itu, Subagyo bilang, putusan MK tersebut sebuah kemajuan karena selama ini polemik selalu berkutat di seputar tempat merokok. Tetapi, jika tempat khusus merokok dibuat istimewa dan dilengkapi fasilitas, itu merupakan kemunduran.
Harjono, hakim MK, mempersilakan instansi yang terkait menyesuaikan dengan keputusan itu. Sebab, "Tidak ada jalur bagi pemda mengajukan banding atas putusan MK," ungkap dia.
Kewajiban menyediakan ruang khusus merokok, Harjono menambahkan, hanya bagi fasilitas umum dan perkantoran yang dinyatakan bebas dari rokok. "Nantinya pemda bisa mengatur sendiri kawasan mana saja yang bisa dijadikan kawasan bebas rokok," ujar Harjono.
Catatan saja, Selasa (17/4) lalu, MK menghapus kata "dapat" dalam penjelasan Pasal 115 ayat (1) UU Kesehatan. Sehingga, pengelola gedung wajib menyediakan tempat khusus merokok. Uji materi ini diajukan oleh Enryo Oktavian, Abhisam Demosa, dan Irwan Sofyan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News