Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Ternyata kerugian bisnis jualan elpiji yang dilakukan PT Pertamina bukan cuma karena harus menanggung beban operasional saja. Tetapi juga ada andil dari tingginya kebutuhan impor elpiji oleh Pertamina.
Menurut data yang dimiliki Pertamina, dari total proyeksi konsumsi elpiji tahun 2014, yaitu sebesar 6,11 juta metrik ton, hanya 2,5 juta metrik ton saja yang dipenuhi dari produksi dalam negeri. Sementara sisanya, harus dipenuhi dari impor.
Direktur pemasaran dan niaga Pertamina Hanung Budya menjelaskan, karena itu maka harga jual elpiji di pasar internasional sangat berpengaruh. "Karena pemenuhan kebutuhan elpiji harus diimpor sekitar 59%," ujar Hanung, rabu (10/9) di Jakarta.
Sebelumnya, Pertamina memperkirakan tahun ini bakal mengalami kerugian sebesar Rp 6,1 triliun. Nah, dengan keputusan menaikan harga jual eceran elpiji 12 kilogram (Kg) sebesar Rp 1.500 per Kg Pertamina berharap kerugiannya bisa menyusut jadi 5,7 triliun saja.
Salah satu penyebab kerugian itu karena harga jual elpiji 12 Kg masih dibawah harga keekonomiannya. Berdasarkan Contract Price (CP) di pasar Aramco, harga jual elpiji yang berlaku sebesar US$ 891,78 per metric ton, dengan kurs sebesar Rp 11.453 per US$.
Belum lagi ditambah biaya-biaya lain yang harus ditanggung perusahaan. Jika mempertimbangkan semua itu, harusnya harga jual elpiji 12 kg sebesar Rp 15.110 per kg, atau Rp 181.400 per tabung.
Padahal elpiji 12 kg bukan barang yang disubsidi pemerintah. Namun, dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat, Pertamina menutupi sebagian biaya-biaya tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News