Reporter: Grace Olivia | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sengitnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China berujung pada potensi perang mata uang alias currency war. Pasalnya, mata uang yuan China terdepresiasi ke level terendah sejak 2008 yaitu menembus 7 yuan per dollar AS sebagai salah satu bentuk retaliasi atas kenaikan tarif AS terhadap barang-barang China.
Ekonom Samuel Sekuritas Ahmad Mikail Zaini menjelaskan, langkah devaluasi mata uang yuan oleh China sudah diperkirakan sebelumnya. “Tambahan tarif AS sebesar 10% ke barang China senilai US$ 300 miliar akan semakin memukul pertumbuhan ekonomi China yang 15% nya berasal dari ekspor,” kata Mikail, Senin (5/8).
Baca Juga: Makin panas, BUMN China diminta untuk menangguhkan impor pertanian dari AS
Devaluasi mata uang yuan, lanjut Mikail, dilakukan China untuk menjaga barang-barang ekspor tetap kompetitif di tengah makin tingginya tarif yang dikenakan oleh AS. Hal ini dimungkinkan lantaran bank sentral China tidak menganut mekanisme pasar dalam hal menetapkan nilai tukar mata uangnya, tetapi menggunakan mekanisme fixed manageable exchange rate.
Mikail mengatakan, pelemahan yuan yang drastis akan menyulitkan negara-negara eksportir lain, termasuk Indonesia. Pasalnya, untuk menjaga ekspor tetap berdaya saing, negara lain juga perlu untuk melemahkan nilai tukar mata uangnya.
“Yang lebih mengkhawatirkan, ini bukan langkah terakhir tetapi langkah awal China dalam mendevaluasi yuan. Bisa jadi yuan terus dilemahkan hingga ke level 7,2 per dollar AS,” kata dia.
Baca Juga: Fitch Ratings: Perang dagang AS-China ancam sektor tekstil dan garmen domestik
Oleh karena itu, posisi nilai tukar rupiah pun menjadi makin sulit. Jika melihat risikonya terhadap ekspor, Mikail memandang, Bank Indonesia mesti membiarkan rupiah terdepresiasi perlahan.
Hal ini untuk mencegah ekspor Indonesia semakin mahal. Apalagi, harga komoditas ekspor unggulan Indoenesia seperti batu bara dan sawit juga sedang tertekan sehingga kinerja ekspor makin di ujung tanduk.
“Defisit neraca dagang dengan China bisa semakin melebar. Jadi, prediksinya rupiah memang akan melemah ke level Rp 14.300-Rp 14.500 sebagai ekuilibrium baru di tengah currency war,” tutur Mikail.
Baca Juga: Butuh insentif dari pemerintah untuk menopang laju industri manufaktur
Currency war menjadi ancaman baru bagi perekonomian dalam negeri, terutama terhadap kinerja ekspor yang memang sedang terseok-seok sepanjang tahun ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2019 hanya 5,05%. Pertumbuhan ekspor lagi-lagi mengalami kontraksi 1,81% secara tahunan (yoy).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News